Kamis, 08 Desember 2011

KEPEMIMPINAN SELESTIAL ALA IBRAHIM

KEPEMIMPINAN SELESTIAL ALA IBRAHIM[1]

Minggu akhir Oktober lalu, kita memperingati momen awal kebangkitan nasional melalui Sumpah Pemuda. Seminggu kemudian, kita berada dalam momentum lain yang lebih universal, yaitu kebangkitan kemanusiaan melalui kisah heroik Ibrahim-Ismail yang melatari Idul Adha.

Ada benang merah antara Sumpah Pemuda dan Idul Adha. Jika Sumpah Pemuda adalah kebangkitan kaum muda  Nusantara untuk sebuah cita-cita besar kebangsaan Indonesia, maka Idul Adha adalah salah satu mozaik pembentukan dasar nilai-nilai kemanusiaan universal. Dan di baliknya adalah aksi visioner seorang Ibrahim, yang dimulai ketika ia masih sangat muda.

Kisahnya berawal dari masa remaja yang “nakal”. Ibnu Katsir menceritakan, sejak berumur belasan tahun Ibrahim telah mulai mempertanyakan berbagai hal yang terjadi di sekitarnya. Ibrahim adalah sosok yang sangat kritis dan suka merenung. Alam semesta, langit, bintang-bintang adalah objek yang paling berkesan baginya. Dari perenungannya tentang alam semesta, Ibarahim berpkir tentang Tuhan. Sikap kritis itu bahkan membuatnya mempertanyakan kebenaran kehidupan setalah mati (QS 2:260).

Selain aktif berdakwah, Ibrahim dikenal sebagai sosok pekerja keras yang sukses. Di samping memiliki kekayaan emas dan perak yang melimpah, bersama Nabi Luth, ia memiliki domba, keledai, dan kuda yang sangat banyak. Dikisahkan, pakan dan minuman yang tersedia di Negeb, Mesir, bahkan tak cukup mensuplay kebutuhan ternak mereka.

Ibrahim muda adalah juga seorang yang berani mengambil resiko. Ia menyampaikan misinya di tengah masyarakat politeis yang kuat di Ur. Ia bahkan mengambil tindakan yang lebih berbahaya dengan menghancurkan patung-patung karya dan sesembahan orang tua dan masyarakatnya.
Sebagian mungkin menyebutnya kecerobohan atau bahkan kekerasan agama. Tetapi dalam konteks Ibrahim saat itu, ini adalah sebuah keberanian berhadapan dengan kekuatan yang mengacam hidupnya. Dan dia benar-benar mengambil resiko ketika memutuskan mengambil langkah kontrovesial itu untuk menarik perhatian masyarakat.

Selanjutnya Ibrahim memutuskan menempatkan Siti Hajar dan seorang anaknya yang masih bayi di sebuah tempat yang tak berpenghuni dan kering. Ibrahim lahir, tumbuh dewasa, menikah selalu tinggal di tempat yang subur dengan makanan yang cukup. Namun, tiba-tiba dia menerima pesan langit untuk membawa Siti Hajar dan anak satu-satunya, yang ia tunggu sangat lama kehadirannya dan yang sangat ia cintai, ke sebuah daerah terpencil, tandus dan tak bertuan.

Dalam perspektif kita saat ini, Ibrahim mungkin dianggap telah melakukan kekerasan rumah tangga. Menempatkan istri dan anaknya, hanya berdua, di tempat yang tandus, tanpa makanan, tanpa perlindungan. Ini tentu sebuah kekejaman dan sikap tak bertanggungjawab. Apalagi penempatan itu dilatari kekecewaan Siti Sarah yang cemburu dan meminta Ibrahim menjauhkan mereka dari kehidupannya.

Namun pikiran demikian segera terbantahkan ketika mengetahui bahwa ada sekenario besar Ilahiyah di sana, dan Ibrahim sangat meyakininya. Ini adalah sebuah proses awal peletakan dasar bangunan tauhid. Ibrahim meyakini sedang menjalani sebuah misi besar dan dia siap mengambil resiko untuk misi besar itu, berapapun harganya.

Bandingkan dengan langkah-langkah gila dan heroik yang dilakukan oleh banyak orang sukses saat ini. Kesuksesan mereka ternyata bukan karena tindakan-tindakan aman yang mereka ambil, tetapi karena langkah-langkah beresiko dan oleh sebagian besar disebut kegilaan. Tetapi, sekali lagi, hal itu yang ternyata membuat mereka berhasil dan dikenang sejarah.

Tindakan beresiko keempat yang dilakukan Ibrahim adalah ketika bersedia mengorbankan anaknya sendiri atas dasar sebuah wahyu yang dia terima dan yakini kebenarannya, meskipun dari sebuah mimpi.

Untuk kita, saya ingin menganalogikan wahyu ini dengan intuisi. Seorang pemimpin yang sangat sukses, berpengaruh dan dicatat oleh sejarah dengan tinta emas, seringkali mengambil keputusan berdasarkan intuisi ketimbang pertimbangan rasional akademik. Tetapi sekali lagi, tindakan ini pulalah yang membedakan dia dengan pemimpin biasa yang tak dicatat oleh siapapun, kecuali sebagai contoh yang tidak perlu ditiru.

***

Kesetiaan pada kebenaran agaknya adalah inti perjalanan Ibrahim. Kebenaran membuat Ibrahim muda tak pernah lelah mencari. Keberaniannya mengambil tindakan yang kontroversial, revolusioner dan tidak popular adalah bukti lain kecintaannya pada kebenaran. Ibrahim tak pernah berhenti “bereksperimen”, mengambil langkah-langkah “tidak manusiawi” namun belakangan dicatat sejarah menjadi dasar-dasar penting bangungan risalahnya.

Kecintaan pada kebenaran memberinya kekuatan untuk berkorban, bahkan mengorbankan yang paling dia cintai. Pemimpin sebuah umat atau bangsa memang seharusnya bersedia berkorban. Keuntungan baginya adalah kebahagiaan melihat masyarakatnya terlepas dari berbagai persoalan hidup, bukan malah menjerumuskannya semakin dalam ke kubangan penderitaan.

Sosok Ibrahim, Sang Nabi, --kesejahteraan dan kedamaian untuknya-- menginspirasi kita tentang karakter penting seorang pemimpin besar—kepemimpinan yang dibangun di atas nilai-nilai langit yang ilahiyah, a celestial leadership.[]



[1] Dimuat di Majalah Gontor Edisi 08 Tahun IX Desember 2011/Muharram-Safar 1433.

Minggu, 14 Agustus 2011

Dzikir Bersama Alam

 “Allah tidak menciptakan benda-benda itu kecuali dengan kebenaran dan ketelitian (al-haq). Allah merincikan ayat-ayat secara detail bagi mereka yang menguasai ilmu pengetahuan” (Yunus, 10:5).

Salah satu karakter buruk ahlul kitab  yang banyak disinggung Quran adalah sikap-tidak-adil mereka tehadap wahyu-wahyu Allah; mengikuti atau menyenangi sebagianya dan tidak memedulikan sebagian yang lain (yu’minûn bi ba’dlil kitab wa yakfurûna bi ba’dlih). Beberapa abad belakangaan, terutama sejak zaman keemasan Islam redup, karakter buruk ahlu kitab di atas menjadi ciri menonjol umat Islam; mereka memperlakukan wayu-wahyu Allah (Qur’an) secara tidak proporsional, dalam wajah yang berbeda tetapi secara substansi sama.

Sampai saat ini umat Islam masih lebih banyak menyibukkan diri dengan mempelajari ayat-ayat Qur’an yang hanya berkenaan dengan ibadah mahdhah (mu’amalah ma’allah) dan sedikit sekali energy yang diberikan untuk mempelajari —untuk tidak mengatakan hampir tidak peduli dengan—ayat-ayat yang berkenaan dengan ibadah ghairu mahdhah (muamalah ma’al khalq).

Qur’an begitu banyak membicarakan alam semesta, mulai dari dzarrah (partikel paling kecil yang dikenal bang Arab saat Qur’an diturunka), angin, bebatuan, air, hujan sampai benda-benda yang sangat bersar seperti planet-planet (makrokosmos). Qur’an tidak menyinggungnya secara sepintas, tapi benar-benar meminta perhatian manusia untuk mempelajarinya. Alam semesta adalah sebuah kebenaran. “Allah tidak menciptakan benda-benda itu kecuali dengan kebenaran dan ketelitian (al-haq). Allah merincikan ayat-ayat itu secara detail bagi mereka yang menguasai ilmu pengetahuan” (Yunus, 10:5).

Allah menciptakan semesta dengan al-haq dan Allah sendiri adalah al-haq. Ayat-ayat adalah tanda-tanda, symbol, pertanda. Biasanya pertanda atau simbol adalah  sesuatu pengingat atas hakikat (substansi) yang berada di baliknya.

Jadi, penanda atau ayat mengandung misi kebenaran untuk membutikan eksistensi Yang Maha Benar (al-Haq). Allah tidak hanya menegaskan bahwa alam semesta telah secara rinci menguak detail-detail keagungan-Nya (karenanya perlu dipelajari), tetapi juga mengingatkan dengan nada keras bahwa mereka yang tidak memerdulikannya akan bisa mengantarnya kepada keterpurukan dan penderitaan (ulâ’ika ma’wâhum al nâr bimâ kânû yaksibûn) (Yunus, 10: 5-8). Jadi, kerasnya peringatan Allah bagi mereka yang tidak mempelajari alam semesta sama kerasnya dengan peringatan Allah kepada orang-orang yang melalaikan shalat, zakat dan ibadah-ibadah mahdhah lainnya.

Kita sangat bersyukur bahwa belakangan ini kesadaran terhadap pentingnya mempelajari alam semesta ini mulai tumbuh kembali dan mendapat tempat yang cukup penting, meskipun masih perlu ditumbuhan terus. Ada beberapa hal yang perlu dilakukan untuk membangun kesadaran saintifik ini.
Pertama, perlu menciptakan buku-buku teks pelajaran umum (‘ulûm ‘aqliyah) yang secara sistematis membangun mindset siswa dan guru bahwa alam yang mereka pelajari melalui fisika, kimia, matematika, biologi, sejarah, geografi dll adalah bagian penting dari mempelajari ayat-ayat Allah. Dalam behasa yang sering kami pakai: Buku-buku teks itu harus mampu menghadirkan Tuhan sehingga pembacanya dapat selalu berdzikir bersama alam semesta.

Kedua, hal yang sama juga perlu dilakukan terhadap buku teks pelajaran-pelajaran agama (PAI, ‘ulûm naqliyah) dalam konteks membangun cara pandang yang Islami terhadap sains dan teknologi. Misalnya dalam pelajaran Tafsir, dengan menafsirkan suatu ayat dengan sudut pandang yang relevan dan tentunya tidak dipaksakan.  Misalnya menafsirkan surat al-Ambiya, 21:80: “Dan Kami ajarkan kepada Nabi Dawud cara membuat baju besi untukmu, guna melindungimu dalam peperangan. Apakah kamu tidak bersyukur?”

Ayat ini mengajari beberapa hal: (1) Salah satu keistimewaan dan menjadi alat dakwah Nabi Dawud adalah kemampunnya dalam bidang sains dan teknologi yaitu membuat baju besi, (2) Allah memandang kemampun teknologi atau keterampilan sebagai sesuatu yang sangat spiritual: Dialah yang mengajarkan, memberi inspirasi, tentang cara menciptakan suatu teknologi, dan (3) Allah sangat menghargai teknologi dan karenanya mengabadikan kemampuan Nabi Daud membuat baju besi tersebut dalam al-Qur’an. Tentulah sesuatu yang disebut dalam Qur’an  bukanlah perkara kecil, melaikan perkara besar dan dimuliakan oleh Allah SWT. Bahkan, mereka yang bisa berterimakasih atas kemampuan teknologi yang diberikan kepada seorang hambanya dijadikan sebagai salah satu tanda orang yang bersyukur. “Apakah kamu tidah bersyukur?,” tandas akhir ayat al-Ambiya di atas.   

Dalam Pelajaran Fiqh, nuansa sains dapat dilakukan dengan membuat buku teks yang kental dengan aroma sains, atau mendorong anak didik berfikir dalam perspetif sains di balik suatu ketentuan fiqh. Misalnya mencoba meneliti ada apa di balik air musyammas sehingga makruh digunakan untuk bersyuci? Ada apa dengan air kencing bayi laki-laki dan wanita sehingga cara bersucinya berbeda ketika mengenai tubuh atau pakaian?, dll. Siswa dan guru perlu didorong memanfaatkan lab melakukan penelitian. Pastilah Allah menyimpan hikmah (ilmu pengetahuan) di balik itu semua.

Langkah ketiga yang harus diambil ambil adalah membangun budaya membaca dan menulis. Ini adalah langka yang sangat strategis untuk membangun masyarakat yang terus belajar dan mengembangakan diri. Umat ini tidak akan memiliki daya dobrak kecuali jika menjadi pembelajar sejati (learning community). Setiap lembaga pendidikan bertanggungjawab untuk mencara cara jitu membangun habit membaca dan menulis ini. 

Jumat, 04 Maret 2011

Benarkah Kita Berpihak kepada Pendidikan? (Menyoal Kepedulian Media Masa)


Oleh Jamaludin*

Pelajar Indonesia yang tergabung dalam Tim Olimpiade Fisika berhasil membuktikan bahwa pendidikan Indonesia masih ada ketika berbagai hasil studi komparatif berskala internasional menunjukkan bahwa performa pendidikan kita jauh dibawah negara-negara Asia bahkan Asia Tenggara lainnya. Namun, prestasi yang membanggakan ini tidak mendapat apresiasi yang memadai dari masyarakat.

Ini agaknya diakibatkan oleh blow-up media (cetak dan elektronik) yang kurang memadai. Bukti paling anyar adalah hampir tidak ada satupun media cetak yang menempatkan prestasi tim olimpiade fisika yang meraih juara umum tersebut sebagai berita (utama) di halaman depan.

Bandingkan dengan berita politik, seperti kunjungan kerja presiden atau konflik di Aceh. Atau berita olahraga, seperti gagalnya Arsenal meraih juara liga Inggris, keberhasilan Indonesia mengalahkan Lebanon. Bandingkan juga dengan berita ekonomi, kriminal dan hiburan, yang hampir tiap hari kita jumpai sebagai headline halaman depan hampir seluruh media. Kalaupun ada liputan yang cukup besar tentang pendidikan maka itu lebih kepada aspek politiknya seperti kontroversi seputar RUU Sisdiknas akhir-akhir ini.

Media elektronik juga tidak menunjukkan perhatian yang sama terhadap pembangunan pendidikan nasional. Sangat langka kita dapatkan dialog-dialog atau liputan-liputan tentang pendidikan di tengah banyaknya stasion televisi di negari ini. Memang ada sebuah saluran yang menyebut diri sebagai televisi pendidikan, tetapi kita juga mengetahui hal itu hanya sebatas nama. Hampir tidak ada program khusus tentang pendidikan yang ditawarkan ke pemirsanya. Coba bandingkan dengan berita kriminal, musik, infotainment, dan lain-lain.

Tahun 2002 yang lalu, penulis bersama teman-teman di Center for Information, Data and Islamic Educational Studies mencoba melakukan penelitian tentang liputan media cetak terhadap pendidikan. Penelitian dilakukan terhadap empat media nasional: Kompas, Republika, Media Indonesia dan Koran Tempo. Semua berita/opini yang termuat pada tanggal 18 sampai 31 Maret diidentifikasi. Keempat harian ini kami pilih karena sebarannya yang bersifat nasional dan karenanya diasumsikan mempengaruhi opini publik secara nasional pula. Pertanyaan utamanya: Dibandingkan dengan berita-berita lain seperti politik, olahraga, dan ekonomi, berapa persen berita (temasuk artikel/opini) tentang pendidikan yang diliput oleh media cetak?

Penelitian kami menunjukkan, persentase liputan pendidikan hanya 3,5%, sementara liputan politik 17,4%, ekonomi 17,3%, sosial budaya 33%, olah raga 12,7%, dan hiburan 5,6% (lihat Tabel). Aneh memang liputan terhadap sesuatu yang paling penting dan  kita anggap menyangkut nasib masa depan bangsa justru mendapat porsi yang sangat kecil. Sementara hal-hal yang menjadi efek pendidikan itu sendiri, seperti ekonomi dan olah raga, mendapat perhatian jauh lebih banyak. Kenyataan ini memunculkan satu pertanyaan penting; benarkan kita berpihak kepada pendidikan bangsa ini?

Media sebagai ‘cyber trainer’

Media masa baik cetak maupun elektronik diyakini memiliki peran strategis membentuk opini publik. Artinya tidak hanya mengikuti kemauan pasar (demand) tetapi media juga memiliki kemampuan menawarkan dan mengarahkan—atau tepatnya menyadarkan—pembaca/pemirsanya (supply) terhadap sesutu yang dianggap penting.

Jika selama ini berita atau opini pendidikan dianggap tidak memiliki nilai jual maka sebenarnya media dapat melakukan pembentukan opini publik yang menggugah mereka untuk bersama-sama memberi perhatian terhadap pendidikan. Karena sesungguhnya, masyarakat itu dalam percaturan informasi seringkali tidak berdaya dan merupakan konsumen pasif (John Fiske, 1987). Apalagi ketika sebagian besar audience tidak memiliki daya kritis dan mudah dipengaruhi. Media dengan ideologi dan kepentingannya dapat memberi makna pada apa yang perlu dianggap penting.

Dalam konteks ini media diharapkan dapat menyadarkan masyarakat untuk bersama-sama memberikan perhatian terhadap pendidikan. Media juga dapat menjadi inspirator bagi munculnya ide-ide kratif pengembangan pendidikan dengan, misalnya, menyajikan berbagai macam features seputar praktek, gagasan dan pengalaman mengelola lembaga pendidikan.

Media bisa saja memuat pengalaman praktisi pendidikan atau sekolah-sekolah yang sukses baik dari dalam maupun luar negeri. Ini penting mengingat akses ke informasi tersebut selama ini sangat sulit tidak saja bagi pelaku pendidikan di pedesaan tapi juga di kota-kota. Dengan jangkaunnya yang cukup luas, bahkan sampai ke pelosok terpencil, media cetak dan elektronik diharapkan menjadi corong utama pengembangan pendidikan. Media bahkan bisa menjadi “cyber trainer” bagi guru-guru, kepala sekolah-kepala sekolah dan tenaga kependidikan lainnya yang selama ini tak ter-(di)-jamah oleh lembaga berkompeten seperti Diknas.

Bagaimana itu terjadi? Sejauh ini pelatihan-pelatihan pengembangan kompetensi tenaga kependidikan yang dilakukan oleh Depdiknas dan Depag (melalui Ditjen Bagais) seringkali jauh dari hasil yang diharapkan. Disamping karena konsepnya tidak jelas, pelatihan-pelatihan tersebut jarang sekali yang mampu menyentuh dan inspiratif. Setelah pelatihan usai peserta merasa tidak mendapat apa-apa.

Biasanya inspirasi muncul jika dilakukan dengan pendekatan praktek atau kunjungan langsung ke lembaga-lembaga pendidikan yang dianggap berhasil. Tapi ini jarang sekali dilakukan dalam pelatihan-pelatihan itu. Nah, jika media mampu menghadirkan laporan-laporan (features) tentang pengalaman-pengalaman mengajar atau sekolah-sekolah yang berhasil sehingga seolah pembaca/pemirsa hadir di situ maka ini akan sangat membantu dan inspiratif bagi pengelola pendidikan lain.

Dukungan Pemerintah

Mengharapkan media tergugah untuk menujukkan kepedulian yang maksimal terhadap pendidikan tanpa dukungan pemerintah sebagai penanggungjawab utama pendidikan bangsa tentunya tidak adil. Karena itu pemerintah perlu memberikan dukungan agar media melakukan liputan yang memadai terhadap dunia pendidikan, termasuk menghadirkan acara-acara how-to pembelajaran atau pengelolaan yang efektif.

Dukungan tersebut bisa berbentuk penyediaan anggaran khusus bagi setiap media untuk melakukan liputan atau semacam program pelatihan jarak jauh (distant training). Model pelatihan ini akan memiliki jangkauan jauh terutama jika dilakukan melalui televisi.

Sejauh ini Diknas memang nampaknya telah melakukan semacam kerjasama dengan beberapa media, namun terlihat belum maksimal. Media sejauh ini dimanfaatkan tidak lebih sekedar sebagai humas untuk mensosialisasikan program-program departemen. Yang dibutuhkan adalah kerja sama yang lebih terarah dan dengan perencanaan yang lebih matang.

Mengapa tidak, misalnya, membeli satu halaman penuh pada tiap media cetak atau jam tayang berkala di televisi untuk tidak hanya sekedar sosialisasi program tapi juga tentang teknik-tehnik praktis pembelajaran atau pengelolaan sekolah yang efektif. Saya yakin program-program semacam ini akan sangat bermanfaat bagi sebagian besar sekolah/madrasah yang selama tidak memiliki akses informasi.
***

Pendidikan memang menjadi tanggungjawab kita semua, karena pendidikan adalah kepentingan kita bersama. Tanpa bermaksud mengalihkan tanggungjawab pendidikan dari pemerintah yang memang kita sangat prihatin atas kekurangseriusan pemerintah selama ini, broad-based education sesungguhnya adalah peluasan basis-basis pendukung pendidikan. Semua pihak memang harus menyisingkan baju, bukan untuk membantu pemerintah, tapi untuk menujukkan kepedulian terhadap rakyat.

Agaknya kepedulian kita terhadap dunia pendidikan perlu dipertanyakan ulang. Benarkah selama ini kita telah berpihak kepada pendidikan yang menjadi penentu nasib bangsa ini di masa mendatang? Jawabannya ada pada program-program, lembar-lembar koran atau tayangan-tayangan yang telah dan akan kita tawarkan.***

Tabel Sebaran Berita pada Media Cetak Nasional Menurut Tema.

Media/Tema
A
B
C
D
E
F
G
H
Total
 Media Indonesia
42
185
144
10
262
47
102
28
820
%
5.1
22.6
17.6
1.2
32.0
5.7
12.4
3.4
100
 Republika
41
171
202
27
312
77
143
94
1.067
%
3.8
16.0
18.9
2.5
29.2
7.2
13.4
8.8
100
 Kompas
40
145
180
115
483
77
142
59
1.241
%
3.2
11.7
14.5
9.3
38.9
6.2
11.4
4.8
100
 Koran Tempo
9
148
118
6
175
31
88
28
603
%
1.5
24.5
19.6
1.0
29.0
5.1
14.6
4.6
100
 Total
132
649
644
158
1.232
232
475
209
3.731
%
3.5
17.4
17.3
4.2
33.0
6.2
12.7
5.6
100

Keterangan:
A = Pendidikan
B = Politik
C = Ekonomi
D = Agama
E = Sosial Budaya
F = Kriminal
G = Olah Raga
H = Hiburan



* Jamaludin adalah Peneliti pada Center for Information, Data and Islamic Educational Studies.
** Tulisan ini pernah dimuat di Media Indonesia

Rekonstruksi Buku Teks Sekolah*

Buku pelajaran (textbook) merupakan media pembelajaran yang dominan bahkan sentral dalam sebuah sistem pendidikan. Ia adalah kendaraan utama 'transfusi' materi kurikulum ke hadapan siswa. Karena perannya yang demikian sentral itu maka kemajuan dan kemunduran pendidikan suatu bangsa dapat dilacak dari tinggi-rendahnya mutu buku teks yang dibaca oleh anak didik.

Sebuah studi yang dilakukan oleh Kathy Chekley (1997), misalnya, menemukan bahwa ketertinggalan siswa Amerika dari siswa Jepang dalam penguasaan matematika dan sains berawal dari buku-buku teks sekolah Amerika yang cenderung 'a mile wide and an inch deep'. Buku-buku teks sekolah Amerika dipenuhi oleh halaman-halaman tanpa makna (meaningless) dan terlalu detail terhadap konsep-konsep kecil, sementara buku-buku teks Jepang menganut prinsip 'less is more' (sedikit itu banyak). Untuk pelajaran fisika-biologi kelas 6, misalnya, buku teks Jepang hanya memuat 6 topik sedangkan Amerika 65 topik. Dihadapkan dengan kenyataan ini Amerika melalui Project 2061 yang diluncurkan tahun 2001 memberi perhatian besar terhadap penulisan buku-buku teks yang berorientasi pada kedalaman substansi dan proses.

Bagaimana dengan buku-buku teks sekolah di Indonesia? Keadaannya lebih parah. Di samping tingkat kepadatan materi yang tinggi, buku teks sekolah Indonesia menyimpan cacat isi (content) yang mendasar. Sebuah riset yang dilakukan oleh Sri Redjeki (1997), misalnya, menunjukkan bahwa buku-buku pelajaran yang dikonsumsi pelajar Indonesia tertinggal 50 tahun dari perkembangan terbaru sains modern. Hal yang sama terjadi juga pada pelajaran lain termasuk pelajaran agama. Buku pelajaran agama bahkan lebih menyerupai buku teks subjek matematika atau fisika yang sarat dengan rumus dan lebih mementingkan penghafalan materi ketimbang rumusan moralitas dalam proses dan praktik. Ini terlihat secara kasatmata karena pelajaran agama dinilai dengan satuan angka. Untuk memperoleh nilai bagus dalam pelajaran agama, seorang anak bahkan harus menghafal sedemikian banyak soal bahkan dalam bentuk multiple choice. Bisa dibayangkan, buku teks agama kita sangat tidak menarik karena anak dikejar-kejar dengan nilai, bukan proses penanaman etika dalam proses belajar keseharian.

Memang banyak muncul buku teks terbitan terbaru, apalagi dengan kebijakan e-book baru-baru ini, akan tetapi isinya tidak fokus dan sering kali merupakan pengulangan-pengulangan. Yang terjadi sesungguhnya adalah sebuah siklus daur ulang materi-materi lama dengan referensi lama pula untuk tidak mengatakan kadaluwarsa sehingga perkembangan pengetahuan siswa pada dasarnya jalan di tempat. Dengan kondisi ini, harapan agar siswa bisa mengantisipasi masa depan menjadi slogan belaka. Bagaimana mungkin mengharapkan mereka mampu mengantisipasi masa depan jika pelajaran-pelajaran yang disodorkan justru tidak responsif terhadap perkembangan yang sedang terjadi?

Nilai strategis
DALAM studi Dedi Supriadi (Anatomi Buku Sekolah di Indonesia, 2000) terungkap bahwa buku pelajaran (textbook) merupakan satu-satunya buku rujukan yang dibaca oleh siswa, bahkan juga oleh sebagian besar guru. Hal ini setidaknya menunjukkan dua hal. Pertama, ketergantungan siswa dan guru yang begitu besar terhadap kelemahan mendasar dunia pendidikan nasional, tetapi pada sisi lain menginspirasikan treatment strategis bagi pengembangannya. Fenomena ini sesungguhnya menyodorkan satu hal urgen, buku paket bisa menjadi katalisator (baca: jalan pintas) peningkatan mutu pendidikan Indonesia yang sedang terpuruk.

Ada beberapa alasan mengapa buku paket menjadi alternatif strategis-akseleratif pembangunan kembali dunia pendidikan Indonesia yang sudah bangkrut. Pertama, kualitas guru yang sebagian besar tidak memadai. Sudah menjadi pengakuan umum bahwa rendahnya kualitas guru Indonesia karena beberapa sebab yang memang tidak kondusif bagi mereka untuk berkembang dan profesional dalam bidangnya adalah salah satu titik lemah pendidikan nasional.

Rendahnya mutu guru salah satunya disebabkan oleh masih adanya angka guru mismatch dan underqualified yang relatif tinggi. Beberapa usaha telah dilakukan untuk meningkatkan profesionalisme guru seperti inservice training, sertifikasi, atau bahkan program pascasarjana. Tetapi usaha semacam ini, di samping sulit menjamin kualitas hasilnya, juga membutuhkan biaya besar dan waktu lama.

Di tengah kondisi yang demikian, perlu dicari alternatif yang paling mungkin untuk menolong siswa dalam jangka pendek, dan tanpa membutuhkan waktu terlalu lama. Dalam hal ini, kehadiran buku pelajaran berkualitas yang dirancang dengan asumsi 'bisa dipahami dengan baik tanpa guru sekalipun' dan, tentunya, relevan terhadap temuan terbaru menjadi sangat mendesak.

Kedua, seperti yang diungkap di atas, buku paket merupakan satu-satunya buku rujukan yang dapat diakses (baca: dibaca) oleh hampir seluruh siswa, bahkan juga oleh sebagian besar guru. Tragis sekali bila satu-satunya sumber belajar yang bisa diakses siswa ini tidak ditangani secara serius. Di samping itu, seperti yang ditunjukkan oleh laporan International Education Achievement, minat baca siswa di sekolah-sekolah Indonesia menempati nomor dua terakhir dari 39 negara yang disurvei. Tentunya, keadaannya akan semakin parah bila minat baca siswa yang minim tersebut diperburuk oleh rendahnya kualitas buku pegangan yang menjadi satu-satunya buku bacaan mereka. Mereka bisa jadi kehilangan minat terhadap buku.


Lima kelemahan
KELEMAHAN buku-buku teks yang banyak beredar setidaknya mencakup lima hal, yaitu isi, bahasa, desain grafis, metodologi penulisan, dan strategi indexing. Seperti disinggung di atas, masalah isi mengandung dua cacat pokok, yakni terlalu banyak dan kadaluwarsa dan karena itu menyesatkan, sebab sudah tidak sesuai dengan penemuan-penemuan mutakhir. Hal ini setidaknya juga bisa dilihat dari referensi lama yang dipergunakan.

Pengakuan para penyusun buku seperti diungkap Supriadi patut mendapat catatan: Para penyusun bukannya 'menulis buku baru dengan referensi yang baru pula', melainkan 'menata ulang', 'mengemas kembali', atau 'merakit kembali' materi-materi yang telah ada dalam buku-buku sebelumnya. Maka yang terjadi sebenarnya adalah reproduksi ulang kesalahan-kesalahan sebelumnya dengan kemasan baru.

Dari segi bahasa dan ilustrasi, kelemahan menonjol buku-buku teks adalah penggunaan bahasa dan ilustrasi yang tidak komunikatif sehingga tidak berhasil menyampaikan pesan inti buku. Dari segi metodologi penulisan, dapat dilihat dari tidak adanya nuansa yang bisa menggugah kesadaran afektif-emosional siswa, terutama dalam buku-buku sosial, moral, dan keagamaan. Pendekatan yang dipakai terlalu materialistik, kering, dan membosankan sehingga gagal menyampaikan pesan isi (content provision) sebuah buku.

Dari aspek strategi kemudahan untuk membaca, indexing hampir tak pernah ada dalam buku-buku teks sekolah anak-anak kita. Tidak seperti buku-buku teks semisal di Singapura dan Amerika yang kaya dengan indeks. Buku-buku teks kita miskin inisiatif bahkan untuk sebagian buku teks di perguruan tinggi. Dalam beberapa studi disebutkan, ketersediaan indeks dalam buku teks akan menaikkan tingkat analitis dan daya kritis anak terhadap setiap persoalan. Karena, dengan indeks seorang anak akan belajar bagaimana melihat kebutuhan pokok bahasan yang sesuai dengan minat dan keinginannya tanpa perlu waktu lama dalam memperolehnya.

Kelima masalah di atas bisa jadi berawal dari honor yang diterima oleh para penulis sangat kecil dan kadang tidak manusiawi. Bagaimana tidak, walaupun anggaran yang dialokasikan untuk buku sangat besar, yang diterima oleh penulis justru sangat tidak wajar. Menurut Rencana Proyek Pengembangan Buku dan Minat Baca, Ditjen Dikdasmen, misalnya, alokasi dana pengembangan buku tidak kurang dari US$350 juta. Dengan kurs rata-rata Rp10.000 per dolar, jumlah itu sama dengan Rp3,5 triliun lebih! Idealnya, dengan dana yang demikian besar, pemerintah seharusnya bisa membangun semacam 'Kamp Konsentrasi Penulisan Buku Paket' dengan membayar penulis-penulis andal dengan satu tema besar, Melahirkan buku-buku teks berkualitas bagi pembangunan masa depan bangsa.

BILA kita sepakat bahwa yang paling berkepentingan dalam pendidikan adalah siswa, dan bahwa setiap usaha peningkatan mutu pendidikan bertujuan untuk memaksimalkan kemampuan siswa, sudah saatnya usaha yang diprioritaskan adalah yang paling mungkin dirasakan langsung oleh setiap siswa. Tidak bisa dimungkiri, buku paket merupakan salah satu kalau tidak satu-satunya media belajar yang bisa dipegang, dirasakan, bahkan menjadi teman tidur siswa yang kebetulan sebagian besar miskin dan tak berdaya itu di pojok-pojok kamar mereka. Merupakan kekeliruan fatal bila kemudian 'teman setia'-nya tersebut tidak mampu mengantarnya ke gerbang pengetahuan dan masa depan yang lebih baik.

*Dimuat di Media Indonesia, Senin, 07 Desember 2009

Rabu, 23 Februari 2011

Peace be upon You!

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Bismillahirrahmanirrahim

Semoga blok, eh blog, ini berjalan dengan baik.

Mohon dukungannya

Salam