Minggu, 14 Agustus 2011

Dzikir Bersama Alam

 “Allah tidak menciptakan benda-benda itu kecuali dengan kebenaran dan ketelitian (al-haq). Allah merincikan ayat-ayat secara detail bagi mereka yang menguasai ilmu pengetahuan” (Yunus, 10:5).

Salah satu karakter buruk ahlul kitab  yang banyak disinggung Quran adalah sikap-tidak-adil mereka tehadap wahyu-wahyu Allah; mengikuti atau menyenangi sebagianya dan tidak memedulikan sebagian yang lain (yu’minûn bi ba’dlil kitab wa yakfurûna bi ba’dlih). Beberapa abad belakangaan, terutama sejak zaman keemasan Islam redup, karakter buruk ahlu kitab di atas menjadi ciri menonjol umat Islam; mereka memperlakukan wayu-wahyu Allah (Qur’an) secara tidak proporsional, dalam wajah yang berbeda tetapi secara substansi sama.

Sampai saat ini umat Islam masih lebih banyak menyibukkan diri dengan mempelajari ayat-ayat Qur’an yang hanya berkenaan dengan ibadah mahdhah (mu’amalah ma’allah) dan sedikit sekali energy yang diberikan untuk mempelajari —untuk tidak mengatakan hampir tidak peduli dengan—ayat-ayat yang berkenaan dengan ibadah ghairu mahdhah (muamalah ma’al khalq).

Qur’an begitu banyak membicarakan alam semesta, mulai dari dzarrah (partikel paling kecil yang dikenal bang Arab saat Qur’an diturunka), angin, bebatuan, air, hujan sampai benda-benda yang sangat bersar seperti planet-planet (makrokosmos). Qur’an tidak menyinggungnya secara sepintas, tapi benar-benar meminta perhatian manusia untuk mempelajarinya. Alam semesta adalah sebuah kebenaran. “Allah tidak menciptakan benda-benda itu kecuali dengan kebenaran dan ketelitian (al-haq). Allah merincikan ayat-ayat itu secara detail bagi mereka yang menguasai ilmu pengetahuan” (Yunus, 10:5).

Allah menciptakan semesta dengan al-haq dan Allah sendiri adalah al-haq. Ayat-ayat adalah tanda-tanda, symbol, pertanda. Biasanya pertanda atau simbol adalah  sesuatu pengingat atas hakikat (substansi) yang berada di baliknya.

Jadi, penanda atau ayat mengandung misi kebenaran untuk membutikan eksistensi Yang Maha Benar (al-Haq). Allah tidak hanya menegaskan bahwa alam semesta telah secara rinci menguak detail-detail keagungan-Nya (karenanya perlu dipelajari), tetapi juga mengingatkan dengan nada keras bahwa mereka yang tidak memerdulikannya akan bisa mengantarnya kepada keterpurukan dan penderitaan (ulâ’ika ma’wâhum al nâr bimâ kânû yaksibûn) (Yunus, 10: 5-8). Jadi, kerasnya peringatan Allah bagi mereka yang tidak mempelajari alam semesta sama kerasnya dengan peringatan Allah kepada orang-orang yang melalaikan shalat, zakat dan ibadah-ibadah mahdhah lainnya.

Kita sangat bersyukur bahwa belakangan ini kesadaran terhadap pentingnya mempelajari alam semesta ini mulai tumbuh kembali dan mendapat tempat yang cukup penting, meskipun masih perlu ditumbuhan terus. Ada beberapa hal yang perlu dilakukan untuk membangun kesadaran saintifik ini.
Pertama, perlu menciptakan buku-buku teks pelajaran umum (‘ulûm ‘aqliyah) yang secara sistematis membangun mindset siswa dan guru bahwa alam yang mereka pelajari melalui fisika, kimia, matematika, biologi, sejarah, geografi dll adalah bagian penting dari mempelajari ayat-ayat Allah. Dalam behasa yang sering kami pakai: Buku-buku teks itu harus mampu menghadirkan Tuhan sehingga pembacanya dapat selalu berdzikir bersama alam semesta.

Kedua, hal yang sama juga perlu dilakukan terhadap buku teks pelajaran-pelajaran agama (PAI, ‘ulûm naqliyah) dalam konteks membangun cara pandang yang Islami terhadap sains dan teknologi. Misalnya dalam pelajaran Tafsir, dengan menafsirkan suatu ayat dengan sudut pandang yang relevan dan tentunya tidak dipaksakan.  Misalnya menafsirkan surat al-Ambiya, 21:80: “Dan Kami ajarkan kepada Nabi Dawud cara membuat baju besi untukmu, guna melindungimu dalam peperangan. Apakah kamu tidak bersyukur?”

Ayat ini mengajari beberapa hal: (1) Salah satu keistimewaan dan menjadi alat dakwah Nabi Dawud adalah kemampunnya dalam bidang sains dan teknologi yaitu membuat baju besi, (2) Allah memandang kemampun teknologi atau keterampilan sebagai sesuatu yang sangat spiritual: Dialah yang mengajarkan, memberi inspirasi, tentang cara menciptakan suatu teknologi, dan (3) Allah sangat menghargai teknologi dan karenanya mengabadikan kemampuan Nabi Daud membuat baju besi tersebut dalam al-Qur’an. Tentulah sesuatu yang disebut dalam Qur’an  bukanlah perkara kecil, melaikan perkara besar dan dimuliakan oleh Allah SWT. Bahkan, mereka yang bisa berterimakasih atas kemampuan teknologi yang diberikan kepada seorang hambanya dijadikan sebagai salah satu tanda orang yang bersyukur. “Apakah kamu tidah bersyukur?,” tandas akhir ayat al-Ambiya di atas.   

Dalam Pelajaran Fiqh, nuansa sains dapat dilakukan dengan membuat buku teks yang kental dengan aroma sains, atau mendorong anak didik berfikir dalam perspetif sains di balik suatu ketentuan fiqh. Misalnya mencoba meneliti ada apa di balik air musyammas sehingga makruh digunakan untuk bersyuci? Ada apa dengan air kencing bayi laki-laki dan wanita sehingga cara bersucinya berbeda ketika mengenai tubuh atau pakaian?, dll. Siswa dan guru perlu didorong memanfaatkan lab melakukan penelitian. Pastilah Allah menyimpan hikmah (ilmu pengetahuan) di balik itu semua.

Langkah ketiga yang harus diambil ambil adalah membangun budaya membaca dan menulis. Ini adalah langka yang sangat strategis untuk membangun masyarakat yang terus belajar dan mengembangakan diri. Umat ini tidak akan memiliki daya dobrak kecuali jika menjadi pembelajar sejati (learning community). Setiap lembaga pendidikan bertanggungjawab untuk mencara cara jitu membangun habit membaca dan menulis ini.