Kamis, 09 Februari 2012


ISLAM, YES. LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM?*

Saya ingin memulai tulisan ini dengan mengajak mengingat kembali kondisi politik umat Islam sekitar tahun 70an dan sebelumnya. Saat itu, muncul semacam antusiasme menunjukkan identitas keislaman dari kalangan menengah atas umat Islam, setidaknya dalam sikap-sikap formal mereka. Meskipun hal itu, seperti diungkap Nurcholish Madjid (1970), menyimpan pertanyaan apakah itu akibat murni dari daya tarik ide-ide yang ditampilkan oleh pemimpin Islam atau merupakan gejala adaptasi sosial-politik karena “kemenangan” umat Islam atas partai komunis?

Pertanyaan apakah itu akibat murni, atau dalam bahasa Nurcholis Madjid saat itu “akibat daya tarik yang jujur”, menjadi penting karena pada tataran riil politik kalangan menengah umat umumnya justru tidak tertarik kepada partai-partai atau organisasi-organisasi Islam. Gejala tersebut oleh Cak Nur dirumuskan sebagai sikap ‘Islam, yes, Partai Islam, no’ umat Islam. Dalam bahasanya yang gamblang Cak Nur menyimpulkan sebagai berikut: “Jadi, jika Partai Islam itu merupakan wadah ide-ide yang hendak diperjuangkan berdasarkan Islam, maka jelaslah bahwa ide-ide itu sekarang dalam keadaan tidak menarik. Dengan perkataan lain, ide-ide dan pemikiran-pemikiran Islam itu sekarang sedang menjadi absolute menfosil, kehilangan dinamika.”

Dari sudut padang yang agak berbeda, saya ingin menganalogikan kondisi politik umat Islam saat itu dengan dunia pendidikan umat Islam akhir-akhir ini. 

Ada semacam pengakuan atau setidaknya kesadaran di kalangan umat Islam sampai saat ini, mereka belum bisa menghadirkan lembaga pendidikan Islam yang bermutu, menarik dan dinamis dari tingkat prasekolah sampai perguruan tinggi. Hal itu bisa dilihat dari langkanya lembaga pendidikan Islam yang menonjol dalam prestasi. Tercatat misalnya hanya segelintir siswanya yang berhasil menembus persaingan masuk dalam tim olimpiade (science and math) pelajar Indonesia. Begitu juga, tidak banyak yang dapat berhasil menembus SPMB (dulu UMPTN). Pro-kontra UU Sisdiknas sebelum disahkan beberapa waktu lalu adalah indikator lain yang menunjukkan lemahnya daya tawar lembaga pendidikan Islam itu sendiri. Pasal kontroversial UU Sisdiknas bisa jadi tidak akan muncul jika saja lembaga pendidikan Islam mampu bersaing dan menjadi pilihan umat Islam.

♦♦♦

Sejauh ini beberapa kajian menjelaskan bahwa ketertinggalan lembaga-lembaga pendidikan Islam dikaitkan dengan lemahnya profesionalisme tenaga pendidik, minimnya kemampuan finansial yang berakibat pada ketidakmampuan mengadakan sarana-prasarana penunjang yang memadai, dsb. Semua analisa tersebut tentunya tidak salah karena memang demikianlah umumnya keadaan lembaga pendidikan Islam.

Ada penyebab lain yang seringkali terlewatkan, yaitu persoalan visi dan filosofi pendidikan Islam itu sendiri. Mengapa madrasah ada? Ada apa di balik kemunculan sekolah-sekolah atau perguruan tinggi-perguruan tinggi berlabel Islam? Di samping karena panggilan dakwah melalui pendidikan, kemunculan lembaga-lembaga tersebut didorong oleh asumsi bahwa lembaga-lembaga pendidikan yang ada tidak menawarkan pendidikan yang Islami. Hal itu, menurut asumsi tersebut, ditandai oleh misalnya kurangnya pendidikan agama yang diberikan, baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Sebaliknya, pelajaran-pelajaran umum (sekuler) sangat dominan.

Belakangan muncul gerakan Islamisasi ilmu pengetahuan di kalangan ilmuan dan pendidik Muslim. Asumsinya ilmu-ilmu yang berkembang selama ini kering dari sentuhan spirit Islam. Akibatnya muncul kekacauan dalam penerapan temuan-temuan teknologi sebagai hasil dari ilmu-ilmu sekuler tersebut. Ide yang paling menarik sesunggunya adalah gerakan Islamisaisi tersebut berujung pada usaha menghilangkan dikotomi ilmu pengetahuan dalam Islam. Bahwa ilmu-ilmu pengetahuan hasil kerja keras manusia itu adalah bagian dari ilmu-ilmu Islam juga, atau setidaknya tidak bertentangan dengan semangat keislaman.

Di kalangan pendidik muslim, gejala ini direspon dengan mengajarkan ilmu-ilmu pengetahuan umum dalam lembaga-lembaga Islam. Anak didik di sekolah-sekolah Islam dikenalkan dengan ilmu-ilmu umum tentunya dengan semangat bagian dari mempelajari Islam itu sendiri.

Namun perubahan perspektif non-dikotomik ini tidak dibarengi dengan perubahan dalam menyikapi lembaga pendidikan yang mengajarkan ilmu-ilmu tersebut. Ini misalnya terlihat dari hampir tidak ada pandangan yang secara tegas menyebutkan bahwa sekolah umum itu adalah juga sekolah Islam. Sekolah-sekolah umum tersebut atau juga perguruan tinggi-perguruan tinggi tersebut tetap saja dipandang sebagai bukan lembaga pendidikan Islam. Karena itu ketika ada sekolah umum yang ingin mempertegas identitas keislamannya maka di akhirnya dibubuhkan kata “Islam” atau setidaknya kata yang mengandung kesan keislaman, seperti SD Islam al-Izhar, SMP Muhammadiyah, SMU al-Ma’arif, dan sebagainya. Sebaliknya untuk menegaskan sikap non-dikotomik madrasah maka madrasah itupun harus didefinsikan sebagai “sekolah umum yang berciri khas Islam”. Hal ini tentu saja justru menegaskan praktek dikotomik dalam memandang pendidikan, dan ambivalen terhadap pandangan Islam yang integral tentang keilmuan itu sendiri.

Masalahnya kemudian lembaga-lembaga pendidikan Islam itu tidak banyak yang memberikan layanan pendidikan yang berkualitas dan menjanjikan. Keindahan visi dan misinya tidak terefleskikan dalam kenyataan lembaga pendidikan tersebut. Lembaga pendidikan Islam tetaplah tertinggal dalam penguasaan ilmu-ilmu umum dibanding sekolah atau universitas umum. 

Menurut saya, jika kita komitmen terhadap pandangan-dunia (world view) Islam yang tidak membedakan derivasi-derivasi ilmu dan tetap memandangnya sebagai bagian integral ilmu-ilmu keislaman, maka konsekwensinya sikap semacam ini haruslah diubah. Kita harus berani menegaskan bahwa sekolah-sekolah umum itu adalah juga sekolah Islam. Dan bahwa definisi madrasah sebagai sekolah umum yang berciri khas Islam perlu dipikirkan ulang. Sebab, defenisi ini jelas sekali menunjukkan pandangan dikotomik. Bukankah sekolah (baca: belajar) itu secara intrinsik adalah sesuatu yang Islami? Pun, secara konseptual tidak ada yang tidak Islami dengan sekolah yang sudah kita kenal sekarang. Bahwa ada deviasi dari konsep intinya itu persoalan lain. Bukankah selalu ada gap antara cita dan fakta pada hampir semua institusi kehidupan?

Bila ini yang kita ambil maka konsekwensinya perbedaan antara madrasah, misalnya, dengan sekolah umum hanya pada pilihan spesialisasi yang diajarkan. Perbedaan penyebutan hanya untuk keperluan teknis bukan prinsip. Artinya, madrasah adalah lembaga pendidikan yang secara khusus menekuni ilmu-ilmu Islam qur’aniyah (metafisik, atau syar’iyah, meminjam istilah Imam Al-Ghozali), sementara sekolah umum adalah lembaga pendidikan yang secara khusus mendalami ilmu-ilmu Islam kauniyah (empirik, atau ‘aqliyah). Hal yang sama juga berlaku untuk pendidikan Islam pada perguruan tinggi.

Pandangan ini penting setidaknya agar umat Islam tidak merasa “risih” karena merasa tidak memasukkan anaknya di lembaga pendidikan Islam. Pada kenyataannya nuansa Islami pada sekolah-sekolah atau perguruan tinggi-perguruan tinggi umum seringkali lebih terasa.***


* Dimuat di Jurnal SinarLima, Edisi 3 Januari 2012.