Jumat, 04 Maret 2011

Benarkah Kita Berpihak kepada Pendidikan? (Menyoal Kepedulian Media Masa)


Oleh Jamaludin*

Pelajar Indonesia yang tergabung dalam Tim Olimpiade Fisika berhasil membuktikan bahwa pendidikan Indonesia masih ada ketika berbagai hasil studi komparatif berskala internasional menunjukkan bahwa performa pendidikan kita jauh dibawah negara-negara Asia bahkan Asia Tenggara lainnya. Namun, prestasi yang membanggakan ini tidak mendapat apresiasi yang memadai dari masyarakat.

Ini agaknya diakibatkan oleh blow-up media (cetak dan elektronik) yang kurang memadai. Bukti paling anyar adalah hampir tidak ada satupun media cetak yang menempatkan prestasi tim olimpiade fisika yang meraih juara umum tersebut sebagai berita (utama) di halaman depan.

Bandingkan dengan berita politik, seperti kunjungan kerja presiden atau konflik di Aceh. Atau berita olahraga, seperti gagalnya Arsenal meraih juara liga Inggris, keberhasilan Indonesia mengalahkan Lebanon. Bandingkan juga dengan berita ekonomi, kriminal dan hiburan, yang hampir tiap hari kita jumpai sebagai headline halaman depan hampir seluruh media. Kalaupun ada liputan yang cukup besar tentang pendidikan maka itu lebih kepada aspek politiknya seperti kontroversi seputar RUU Sisdiknas akhir-akhir ini.

Media elektronik juga tidak menunjukkan perhatian yang sama terhadap pembangunan pendidikan nasional. Sangat langka kita dapatkan dialog-dialog atau liputan-liputan tentang pendidikan di tengah banyaknya stasion televisi di negari ini. Memang ada sebuah saluran yang menyebut diri sebagai televisi pendidikan, tetapi kita juga mengetahui hal itu hanya sebatas nama. Hampir tidak ada program khusus tentang pendidikan yang ditawarkan ke pemirsanya. Coba bandingkan dengan berita kriminal, musik, infotainment, dan lain-lain.

Tahun 2002 yang lalu, penulis bersama teman-teman di Center for Information, Data and Islamic Educational Studies mencoba melakukan penelitian tentang liputan media cetak terhadap pendidikan. Penelitian dilakukan terhadap empat media nasional: Kompas, Republika, Media Indonesia dan Koran Tempo. Semua berita/opini yang termuat pada tanggal 18 sampai 31 Maret diidentifikasi. Keempat harian ini kami pilih karena sebarannya yang bersifat nasional dan karenanya diasumsikan mempengaruhi opini publik secara nasional pula. Pertanyaan utamanya: Dibandingkan dengan berita-berita lain seperti politik, olahraga, dan ekonomi, berapa persen berita (temasuk artikel/opini) tentang pendidikan yang diliput oleh media cetak?

Penelitian kami menunjukkan, persentase liputan pendidikan hanya 3,5%, sementara liputan politik 17,4%, ekonomi 17,3%, sosial budaya 33%, olah raga 12,7%, dan hiburan 5,6% (lihat Tabel). Aneh memang liputan terhadap sesuatu yang paling penting dan  kita anggap menyangkut nasib masa depan bangsa justru mendapat porsi yang sangat kecil. Sementara hal-hal yang menjadi efek pendidikan itu sendiri, seperti ekonomi dan olah raga, mendapat perhatian jauh lebih banyak. Kenyataan ini memunculkan satu pertanyaan penting; benarkan kita berpihak kepada pendidikan bangsa ini?

Media sebagai ‘cyber trainer’

Media masa baik cetak maupun elektronik diyakini memiliki peran strategis membentuk opini publik. Artinya tidak hanya mengikuti kemauan pasar (demand) tetapi media juga memiliki kemampuan menawarkan dan mengarahkan—atau tepatnya menyadarkan—pembaca/pemirsanya (supply) terhadap sesutu yang dianggap penting.

Jika selama ini berita atau opini pendidikan dianggap tidak memiliki nilai jual maka sebenarnya media dapat melakukan pembentukan opini publik yang menggugah mereka untuk bersama-sama memberi perhatian terhadap pendidikan. Karena sesungguhnya, masyarakat itu dalam percaturan informasi seringkali tidak berdaya dan merupakan konsumen pasif (John Fiske, 1987). Apalagi ketika sebagian besar audience tidak memiliki daya kritis dan mudah dipengaruhi. Media dengan ideologi dan kepentingannya dapat memberi makna pada apa yang perlu dianggap penting.

Dalam konteks ini media diharapkan dapat menyadarkan masyarakat untuk bersama-sama memberikan perhatian terhadap pendidikan. Media juga dapat menjadi inspirator bagi munculnya ide-ide kratif pengembangan pendidikan dengan, misalnya, menyajikan berbagai macam features seputar praktek, gagasan dan pengalaman mengelola lembaga pendidikan.

Media bisa saja memuat pengalaman praktisi pendidikan atau sekolah-sekolah yang sukses baik dari dalam maupun luar negeri. Ini penting mengingat akses ke informasi tersebut selama ini sangat sulit tidak saja bagi pelaku pendidikan di pedesaan tapi juga di kota-kota. Dengan jangkaunnya yang cukup luas, bahkan sampai ke pelosok terpencil, media cetak dan elektronik diharapkan menjadi corong utama pengembangan pendidikan. Media bahkan bisa menjadi “cyber trainer” bagi guru-guru, kepala sekolah-kepala sekolah dan tenaga kependidikan lainnya yang selama ini tak ter-(di)-jamah oleh lembaga berkompeten seperti Diknas.

Bagaimana itu terjadi? Sejauh ini pelatihan-pelatihan pengembangan kompetensi tenaga kependidikan yang dilakukan oleh Depdiknas dan Depag (melalui Ditjen Bagais) seringkali jauh dari hasil yang diharapkan. Disamping karena konsepnya tidak jelas, pelatihan-pelatihan tersebut jarang sekali yang mampu menyentuh dan inspiratif. Setelah pelatihan usai peserta merasa tidak mendapat apa-apa.

Biasanya inspirasi muncul jika dilakukan dengan pendekatan praktek atau kunjungan langsung ke lembaga-lembaga pendidikan yang dianggap berhasil. Tapi ini jarang sekali dilakukan dalam pelatihan-pelatihan itu. Nah, jika media mampu menghadirkan laporan-laporan (features) tentang pengalaman-pengalaman mengajar atau sekolah-sekolah yang berhasil sehingga seolah pembaca/pemirsa hadir di situ maka ini akan sangat membantu dan inspiratif bagi pengelola pendidikan lain.

Dukungan Pemerintah

Mengharapkan media tergugah untuk menujukkan kepedulian yang maksimal terhadap pendidikan tanpa dukungan pemerintah sebagai penanggungjawab utama pendidikan bangsa tentunya tidak adil. Karena itu pemerintah perlu memberikan dukungan agar media melakukan liputan yang memadai terhadap dunia pendidikan, termasuk menghadirkan acara-acara how-to pembelajaran atau pengelolaan yang efektif.

Dukungan tersebut bisa berbentuk penyediaan anggaran khusus bagi setiap media untuk melakukan liputan atau semacam program pelatihan jarak jauh (distant training). Model pelatihan ini akan memiliki jangkauan jauh terutama jika dilakukan melalui televisi.

Sejauh ini Diknas memang nampaknya telah melakukan semacam kerjasama dengan beberapa media, namun terlihat belum maksimal. Media sejauh ini dimanfaatkan tidak lebih sekedar sebagai humas untuk mensosialisasikan program-program departemen. Yang dibutuhkan adalah kerja sama yang lebih terarah dan dengan perencanaan yang lebih matang.

Mengapa tidak, misalnya, membeli satu halaman penuh pada tiap media cetak atau jam tayang berkala di televisi untuk tidak hanya sekedar sosialisasi program tapi juga tentang teknik-tehnik praktis pembelajaran atau pengelolaan sekolah yang efektif. Saya yakin program-program semacam ini akan sangat bermanfaat bagi sebagian besar sekolah/madrasah yang selama tidak memiliki akses informasi.
***

Pendidikan memang menjadi tanggungjawab kita semua, karena pendidikan adalah kepentingan kita bersama. Tanpa bermaksud mengalihkan tanggungjawab pendidikan dari pemerintah yang memang kita sangat prihatin atas kekurangseriusan pemerintah selama ini, broad-based education sesungguhnya adalah peluasan basis-basis pendukung pendidikan. Semua pihak memang harus menyisingkan baju, bukan untuk membantu pemerintah, tapi untuk menujukkan kepedulian terhadap rakyat.

Agaknya kepedulian kita terhadap dunia pendidikan perlu dipertanyakan ulang. Benarkah selama ini kita telah berpihak kepada pendidikan yang menjadi penentu nasib bangsa ini di masa mendatang? Jawabannya ada pada program-program, lembar-lembar koran atau tayangan-tayangan yang telah dan akan kita tawarkan.***

Tabel Sebaran Berita pada Media Cetak Nasional Menurut Tema.

Media/Tema
A
B
C
D
E
F
G
H
Total
 Media Indonesia
42
185
144
10
262
47
102
28
820
%
5.1
22.6
17.6
1.2
32.0
5.7
12.4
3.4
100
 Republika
41
171
202
27
312
77
143
94
1.067
%
3.8
16.0
18.9
2.5
29.2
7.2
13.4
8.8
100
 Kompas
40
145
180
115
483
77
142
59
1.241
%
3.2
11.7
14.5
9.3
38.9
6.2
11.4
4.8
100
 Koran Tempo
9
148
118
6
175
31
88
28
603
%
1.5
24.5
19.6
1.0
29.0
5.1
14.6
4.6
100
 Total
132
649
644
158
1.232
232
475
209
3.731
%
3.5
17.4
17.3
4.2
33.0
6.2
12.7
5.6
100

Keterangan:
A = Pendidikan
B = Politik
C = Ekonomi
D = Agama
E = Sosial Budaya
F = Kriminal
G = Olah Raga
H = Hiburan



* Jamaludin adalah Peneliti pada Center for Information, Data and Islamic Educational Studies.
** Tulisan ini pernah dimuat di Media Indonesia

Rekonstruksi Buku Teks Sekolah*

Buku pelajaran (textbook) merupakan media pembelajaran yang dominan bahkan sentral dalam sebuah sistem pendidikan. Ia adalah kendaraan utama 'transfusi' materi kurikulum ke hadapan siswa. Karena perannya yang demikian sentral itu maka kemajuan dan kemunduran pendidikan suatu bangsa dapat dilacak dari tinggi-rendahnya mutu buku teks yang dibaca oleh anak didik.

Sebuah studi yang dilakukan oleh Kathy Chekley (1997), misalnya, menemukan bahwa ketertinggalan siswa Amerika dari siswa Jepang dalam penguasaan matematika dan sains berawal dari buku-buku teks sekolah Amerika yang cenderung 'a mile wide and an inch deep'. Buku-buku teks sekolah Amerika dipenuhi oleh halaman-halaman tanpa makna (meaningless) dan terlalu detail terhadap konsep-konsep kecil, sementara buku-buku teks Jepang menganut prinsip 'less is more' (sedikit itu banyak). Untuk pelajaran fisika-biologi kelas 6, misalnya, buku teks Jepang hanya memuat 6 topik sedangkan Amerika 65 topik. Dihadapkan dengan kenyataan ini Amerika melalui Project 2061 yang diluncurkan tahun 2001 memberi perhatian besar terhadap penulisan buku-buku teks yang berorientasi pada kedalaman substansi dan proses.

Bagaimana dengan buku-buku teks sekolah di Indonesia? Keadaannya lebih parah. Di samping tingkat kepadatan materi yang tinggi, buku teks sekolah Indonesia menyimpan cacat isi (content) yang mendasar. Sebuah riset yang dilakukan oleh Sri Redjeki (1997), misalnya, menunjukkan bahwa buku-buku pelajaran yang dikonsumsi pelajar Indonesia tertinggal 50 tahun dari perkembangan terbaru sains modern. Hal yang sama terjadi juga pada pelajaran lain termasuk pelajaran agama. Buku pelajaran agama bahkan lebih menyerupai buku teks subjek matematika atau fisika yang sarat dengan rumus dan lebih mementingkan penghafalan materi ketimbang rumusan moralitas dalam proses dan praktik. Ini terlihat secara kasatmata karena pelajaran agama dinilai dengan satuan angka. Untuk memperoleh nilai bagus dalam pelajaran agama, seorang anak bahkan harus menghafal sedemikian banyak soal bahkan dalam bentuk multiple choice. Bisa dibayangkan, buku teks agama kita sangat tidak menarik karena anak dikejar-kejar dengan nilai, bukan proses penanaman etika dalam proses belajar keseharian.

Memang banyak muncul buku teks terbitan terbaru, apalagi dengan kebijakan e-book baru-baru ini, akan tetapi isinya tidak fokus dan sering kali merupakan pengulangan-pengulangan. Yang terjadi sesungguhnya adalah sebuah siklus daur ulang materi-materi lama dengan referensi lama pula untuk tidak mengatakan kadaluwarsa sehingga perkembangan pengetahuan siswa pada dasarnya jalan di tempat. Dengan kondisi ini, harapan agar siswa bisa mengantisipasi masa depan menjadi slogan belaka. Bagaimana mungkin mengharapkan mereka mampu mengantisipasi masa depan jika pelajaran-pelajaran yang disodorkan justru tidak responsif terhadap perkembangan yang sedang terjadi?

Nilai strategis
DALAM studi Dedi Supriadi (Anatomi Buku Sekolah di Indonesia, 2000) terungkap bahwa buku pelajaran (textbook) merupakan satu-satunya buku rujukan yang dibaca oleh siswa, bahkan juga oleh sebagian besar guru. Hal ini setidaknya menunjukkan dua hal. Pertama, ketergantungan siswa dan guru yang begitu besar terhadap kelemahan mendasar dunia pendidikan nasional, tetapi pada sisi lain menginspirasikan treatment strategis bagi pengembangannya. Fenomena ini sesungguhnya menyodorkan satu hal urgen, buku paket bisa menjadi katalisator (baca: jalan pintas) peningkatan mutu pendidikan Indonesia yang sedang terpuruk.

Ada beberapa alasan mengapa buku paket menjadi alternatif strategis-akseleratif pembangunan kembali dunia pendidikan Indonesia yang sudah bangkrut. Pertama, kualitas guru yang sebagian besar tidak memadai. Sudah menjadi pengakuan umum bahwa rendahnya kualitas guru Indonesia karena beberapa sebab yang memang tidak kondusif bagi mereka untuk berkembang dan profesional dalam bidangnya adalah salah satu titik lemah pendidikan nasional.

Rendahnya mutu guru salah satunya disebabkan oleh masih adanya angka guru mismatch dan underqualified yang relatif tinggi. Beberapa usaha telah dilakukan untuk meningkatkan profesionalisme guru seperti inservice training, sertifikasi, atau bahkan program pascasarjana. Tetapi usaha semacam ini, di samping sulit menjamin kualitas hasilnya, juga membutuhkan biaya besar dan waktu lama.

Di tengah kondisi yang demikian, perlu dicari alternatif yang paling mungkin untuk menolong siswa dalam jangka pendek, dan tanpa membutuhkan waktu terlalu lama. Dalam hal ini, kehadiran buku pelajaran berkualitas yang dirancang dengan asumsi 'bisa dipahami dengan baik tanpa guru sekalipun' dan, tentunya, relevan terhadap temuan terbaru menjadi sangat mendesak.

Kedua, seperti yang diungkap di atas, buku paket merupakan satu-satunya buku rujukan yang dapat diakses (baca: dibaca) oleh hampir seluruh siswa, bahkan juga oleh sebagian besar guru. Tragis sekali bila satu-satunya sumber belajar yang bisa diakses siswa ini tidak ditangani secara serius. Di samping itu, seperti yang ditunjukkan oleh laporan International Education Achievement, minat baca siswa di sekolah-sekolah Indonesia menempati nomor dua terakhir dari 39 negara yang disurvei. Tentunya, keadaannya akan semakin parah bila minat baca siswa yang minim tersebut diperburuk oleh rendahnya kualitas buku pegangan yang menjadi satu-satunya buku bacaan mereka. Mereka bisa jadi kehilangan minat terhadap buku.


Lima kelemahan
KELEMAHAN buku-buku teks yang banyak beredar setidaknya mencakup lima hal, yaitu isi, bahasa, desain grafis, metodologi penulisan, dan strategi indexing. Seperti disinggung di atas, masalah isi mengandung dua cacat pokok, yakni terlalu banyak dan kadaluwarsa dan karena itu menyesatkan, sebab sudah tidak sesuai dengan penemuan-penemuan mutakhir. Hal ini setidaknya juga bisa dilihat dari referensi lama yang dipergunakan.

Pengakuan para penyusun buku seperti diungkap Supriadi patut mendapat catatan: Para penyusun bukannya 'menulis buku baru dengan referensi yang baru pula', melainkan 'menata ulang', 'mengemas kembali', atau 'merakit kembali' materi-materi yang telah ada dalam buku-buku sebelumnya. Maka yang terjadi sebenarnya adalah reproduksi ulang kesalahan-kesalahan sebelumnya dengan kemasan baru.

Dari segi bahasa dan ilustrasi, kelemahan menonjol buku-buku teks adalah penggunaan bahasa dan ilustrasi yang tidak komunikatif sehingga tidak berhasil menyampaikan pesan inti buku. Dari segi metodologi penulisan, dapat dilihat dari tidak adanya nuansa yang bisa menggugah kesadaran afektif-emosional siswa, terutama dalam buku-buku sosial, moral, dan keagamaan. Pendekatan yang dipakai terlalu materialistik, kering, dan membosankan sehingga gagal menyampaikan pesan isi (content provision) sebuah buku.

Dari aspek strategi kemudahan untuk membaca, indexing hampir tak pernah ada dalam buku-buku teks sekolah anak-anak kita. Tidak seperti buku-buku teks semisal di Singapura dan Amerika yang kaya dengan indeks. Buku-buku teks kita miskin inisiatif bahkan untuk sebagian buku teks di perguruan tinggi. Dalam beberapa studi disebutkan, ketersediaan indeks dalam buku teks akan menaikkan tingkat analitis dan daya kritis anak terhadap setiap persoalan. Karena, dengan indeks seorang anak akan belajar bagaimana melihat kebutuhan pokok bahasan yang sesuai dengan minat dan keinginannya tanpa perlu waktu lama dalam memperolehnya.

Kelima masalah di atas bisa jadi berawal dari honor yang diterima oleh para penulis sangat kecil dan kadang tidak manusiawi. Bagaimana tidak, walaupun anggaran yang dialokasikan untuk buku sangat besar, yang diterima oleh penulis justru sangat tidak wajar. Menurut Rencana Proyek Pengembangan Buku dan Minat Baca, Ditjen Dikdasmen, misalnya, alokasi dana pengembangan buku tidak kurang dari US$350 juta. Dengan kurs rata-rata Rp10.000 per dolar, jumlah itu sama dengan Rp3,5 triliun lebih! Idealnya, dengan dana yang demikian besar, pemerintah seharusnya bisa membangun semacam 'Kamp Konsentrasi Penulisan Buku Paket' dengan membayar penulis-penulis andal dengan satu tema besar, Melahirkan buku-buku teks berkualitas bagi pembangunan masa depan bangsa.

BILA kita sepakat bahwa yang paling berkepentingan dalam pendidikan adalah siswa, dan bahwa setiap usaha peningkatan mutu pendidikan bertujuan untuk memaksimalkan kemampuan siswa, sudah saatnya usaha yang diprioritaskan adalah yang paling mungkin dirasakan langsung oleh setiap siswa. Tidak bisa dimungkiri, buku paket merupakan salah satu kalau tidak satu-satunya media belajar yang bisa dipegang, dirasakan, bahkan menjadi teman tidur siswa yang kebetulan sebagian besar miskin dan tak berdaya itu di pojok-pojok kamar mereka. Merupakan kekeliruan fatal bila kemudian 'teman setia'-nya tersebut tidak mampu mengantarnya ke gerbang pengetahuan dan masa depan yang lebih baik.

*Dimuat di Media Indonesia, Senin, 07 Desember 2009