Kamis, 08 Desember 2011

KEPEMIMPINAN SELESTIAL ALA IBRAHIM

KEPEMIMPINAN SELESTIAL ALA IBRAHIM[1]

Minggu akhir Oktober lalu, kita memperingati momen awal kebangkitan nasional melalui Sumpah Pemuda. Seminggu kemudian, kita berada dalam momentum lain yang lebih universal, yaitu kebangkitan kemanusiaan melalui kisah heroik Ibrahim-Ismail yang melatari Idul Adha.

Ada benang merah antara Sumpah Pemuda dan Idul Adha. Jika Sumpah Pemuda adalah kebangkitan kaum muda  Nusantara untuk sebuah cita-cita besar kebangsaan Indonesia, maka Idul Adha adalah salah satu mozaik pembentukan dasar nilai-nilai kemanusiaan universal. Dan di baliknya adalah aksi visioner seorang Ibrahim, yang dimulai ketika ia masih sangat muda.

Kisahnya berawal dari masa remaja yang “nakal”. Ibnu Katsir menceritakan, sejak berumur belasan tahun Ibrahim telah mulai mempertanyakan berbagai hal yang terjadi di sekitarnya. Ibrahim adalah sosok yang sangat kritis dan suka merenung. Alam semesta, langit, bintang-bintang adalah objek yang paling berkesan baginya. Dari perenungannya tentang alam semesta, Ibarahim berpkir tentang Tuhan. Sikap kritis itu bahkan membuatnya mempertanyakan kebenaran kehidupan setalah mati (QS 2:260).

Selain aktif berdakwah, Ibrahim dikenal sebagai sosok pekerja keras yang sukses. Di samping memiliki kekayaan emas dan perak yang melimpah, bersama Nabi Luth, ia memiliki domba, keledai, dan kuda yang sangat banyak. Dikisahkan, pakan dan minuman yang tersedia di Negeb, Mesir, bahkan tak cukup mensuplay kebutuhan ternak mereka.

Ibrahim muda adalah juga seorang yang berani mengambil resiko. Ia menyampaikan misinya di tengah masyarakat politeis yang kuat di Ur. Ia bahkan mengambil tindakan yang lebih berbahaya dengan menghancurkan patung-patung karya dan sesembahan orang tua dan masyarakatnya.
Sebagian mungkin menyebutnya kecerobohan atau bahkan kekerasan agama. Tetapi dalam konteks Ibrahim saat itu, ini adalah sebuah keberanian berhadapan dengan kekuatan yang mengacam hidupnya. Dan dia benar-benar mengambil resiko ketika memutuskan mengambil langkah kontrovesial itu untuk menarik perhatian masyarakat.

Selanjutnya Ibrahim memutuskan menempatkan Siti Hajar dan seorang anaknya yang masih bayi di sebuah tempat yang tak berpenghuni dan kering. Ibrahim lahir, tumbuh dewasa, menikah selalu tinggal di tempat yang subur dengan makanan yang cukup. Namun, tiba-tiba dia menerima pesan langit untuk membawa Siti Hajar dan anak satu-satunya, yang ia tunggu sangat lama kehadirannya dan yang sangat ia cintai, ke sebuah daerah terpencil, tandus dan tak bertuan.

Dalam perspektif kita saat ini, Ibrahim mungkin dianggap telah melakukan kekerasan rumah tangga. Menempatkan istri dan anaknya, hanya berdua, di tempat yang tandus, tanpa makanan, tanpa perlindungan. Ini tentu sebuah kekejaman dan sikap tak bertanggungjawab. Apalagi penempatan itu dilatari kekecewaan Siti Sarah yang cemburu dan meminta Ibrahim menjauhkan mereka dari kehidupannya.

Namun pikiran demikian segera terbantahkan ketika mengetahui bahwa ada sekenario besar Ilahiyah di sana, dan Ibrahim sangat meyakininya. Ini adalah sebuah proses awal peletakan dasar bangunan tauhid. Ibrahim meyakini sedang menjalani sebuah misi besar dan dia siap mengambil resiko untuk misi besar itu, berapapun harganya.

Bandingkan dengan langkah-langkah gila dan heroik yang dilakukan oleh banyak orang sukses saat ini. Kesuksesan mereka ternyata bukan karena tindakan-tindakan aman yang mereka ambil, tetapi karena langkah-langkah beresiko dan oleh sebagian besar disebut kegilaan. Tetapi, sekali lagi, hal itu yang ternyata membuat mereka berhasil dan dikenang sejarah.

Tindakan beresiko keempat yang dilakukan Ibrahim adalah ketika bersedia mengorbankan anaknya sendiri atas dasar sebuah wahyu yang dia terima dan yakini kebenarannya, meskipun dari sebuah mimpi.

Untuk kita, saya ingin menganalogikan wahyu ini dengan intuisi. Seorang pemimpin yang sangat sukses, berpengaruh dan dicatat oleh sejarah dengan tinta emas, seringkali mengambil keputusan berdasarkan intuisi ketimbang pertimbangan rasional akademik. Tetapi sekali lagi, tindakan ini pulalah yang membedakan dia dengan pemimpin biasa yang tak dicatat oleh siapapun, kecuali sebagai contoh yang tidak perlu ditiru.

***

Kesetiaan pada kebenaran agaknya adalah inti perjalanan Ibrahim. Kebenaran membuat Ibrahim muda tak pernah lelah mencari. Keberaniannya mengambil tindakan yang kontroversial, revolusioner dan tidak popular adalah bukti lain kecintaannya pada kebenaran. Ibrahim tak pernah berhenti “bereksperimen”, mengambil langkah-langkah “tidak manusiawi” namun belakangan dicatat sejarah menjadi dasar-dasar penting bangungan risalahnya.

Kecintaan pada kebenaran memberinya kekuatan untuk berkorban, bahkan mengorbankan yang paling dia cintai. Pemimpin sebuah umat atau bangsa memang seharusnya bersedia berkorban. Keuntungan baginya adalah kebahagiaan melihat masyarakatnya terlepas dari berbagai persoalan hidup, bukan malah menjerumuskannya semakin dalam ke kubangan penderitaan.

Sosok Ibrahim, Sang Nabi, --kesejahteraan dan kedamaian untuknya-- menginspirasi kita tentang karakter penting seorang pemimpin besar—kepemimpinan yang dibangun di atas nilai-nilai langit yang ilahiyah, a celestial leadership.[]



[1] Dimuat di Majalah Gontor Edisi 08 Tahun IX Desember 2011/Muharram-Safar 1433.