Dengan nama
Allah
Yang Maha Mengasihi
(jagat raya dan seisinya)
Yang Maha
Mencintai (para penempuh jalan kebenaran)
-- Terjemah
Maknawiyah, Al-Fatihah (1): 1
Kata Kunci: Allah, Maha Mengasihi, Maha Mencintai
“Bismillâhirrahmânirrahîm atau biasa
disebut basmallah adalah sebuah
kalimat sakti. Dengannya kita memulai segala hal. Tanpanya apapun yang kita
kerjakan menjadi sia-sia,” kata Mamik Seni memulai tadarusan pagi kedua.
“Termasuk
hal yang buruk sekalipun, mamik?” sergah Ece.
“Ya,
termasuk pekerjaan yang buruk. Tetapi dengan syarat ucapkanlah dengan sepenuh
hati. Mudahan setelah itu kamu malu sendiri lalu tidak jadi melaksanakan hal
yang buruk itu,” kata Mamik Seni berdiplomasi. Ada senyum tersungging.
Ece
tersipu. Him dan Amang mengusap punggunya. “Makanya jangan punya niat buruk.” Mereka
serempak berbisik ke telinga Ece.
“Baiklah,
kita memulai tadarusan kedua ini. Ulama berbeda pendapat apakah basmallah termasuk bagian dari ayat
al-Fatihah atau tidak, “ kata Mamik Seni melanjutkan, “Namun sebagian besar
mengatakan ia termasuk. Karena itu kita
dapatkan hampir pada semua mushaf Quran yang diterbitkan di berbagai belahan
dunia, termasuk yang hanya berbentuk terjemahan, basmallah dicantumkan sebagai ayat pertama surat al-Fatihah. Basmallah juga ditulis sebelum memulai
setiap surat—kecuali pada surat al-Bara’ah atau lebih dikenal dengan at-Taubah—meskipun
tidak dimasukkan sebagai bagian dari ayatnya.”
“Mengapa,
Mik?” tanya Amang penasaran.
“Itu
nanti kita dijelaskan ketika membahas surat terkait. Tentang Bismillah, Rasulullah
SAW bersabda, ‘Setiap pekerjaan tanpa diawali dengan bismillâh adalah cacat.’ Meskipun hadits ini dianggap dhaîf, namun tidak satupun ulama yang
menolak substansi pesan yang dikandungnya. Mereka bersepakat bahwa setiap pekerjaan
mestilah diawali dengan basmallah, yaitu
sebuah kesadaran akan pelibatan dan kehadiran Allah dalam setiap hal yang kita
lakukan.”
“Maksud
cacat di sini bagaimana, Mamik?”
“Cacatnya
pekerjaan yang tidak diawali dengan bismillah itu, kata seorang ulama, karena kita
berarti melupakan Tuhan, Allah SWT. Kita lupa bahwa semua energi untuk bekerja
atau beraktifitas itu merupakan karunia Allah SWT, pemilik alam semesta dan isinya.
Allah adalah sumber semua energi, asal segala sesuatu, maka semua harus
dikembalikan ke pemiliki asalnya. ‘Tidak ada sesuatu apapun kecuali pada Kami
lah sumbernya,’ firman Allah dalam al-Hijr (15): 21.”
“Maka
mengucapkan bismillah itu,” sela Ece, ”sesungguhnya untuk menegaskan pengakuan
atas keilahian Allah dan bahwa Dialah sumber dan asal segala sesuatu. Apa saja
yang kita lakukan sesungguhnya menggunakan karunia yang telah Tuhan berikan
kepada kita. Begitu, mamik?”
“Benar
sekali,” jawab Mamik Seni. “Selain itu, ketika seseorang memulai suatu kegiatan
dengan bismillah (dengan atau atas nama Allah), seperti dijelaskan oleh As
Sa’di, maka orang itu telah menyematkan semua nama-nama Allah yang indah (al asma al husna) pada kegiatan itu. Dan
itu berarti ia berharap agar semua potensi kekuatan ilahiyah itu dapat terserap
dan menjadi energi yang membantunya dalam bekerja.”
“Subhanallah,
saya ingin kekuatan ilahiyah itu. Bisa jelaskan lebih lanjut, Mamik?” Ece
terkesima.
“Ketika
seseorang mengucapkan Bismillah dalam memulai suatu pekerjaan, berarti sebuah
tindakan telah diikrarkan atas nama Allah. Orang itu seolah-olah mengucapkan: ‘Dengan
dan atas nama-Mu, ya Allah, aku melakukan pekerjaan ini.’ Maka seketika itu,
sadar atau tidak, aspek keilahian telah dilekatkan pada tindakan atau pekerjaan
itu. Dengan kata lain kita telah menjadi duta Allah dalam pekerjaan itu.”
Amang
hanya diam. Sementera Him dan Ece saling lirik. Udara pagi di kampung Tinggar
yang segar tak mampu membuat mereka duduk dengan tegak.
“Saya
paham maksudnya, mami,” kata Ece, “tetapi kedengarannya agak berat. Maksud
saya, itu terasa begitu sakral sehingga secara batin terasa berat sekali. Hmmm,
tetapi kalau dipikir-pikir memang demikian adanya. Itu seumpama seseorang yang
diutus oleh seorang raja, misalnya, maka ketika itu ia sesungguhnya representasi
atau ‘perwujudan’ dari sang raja. Apa saja yang dia lakukan akan dipandang sebagai
sikap resmi raja.”
“Ya,
ini bisa jadi sebuah beban,” Him menimpali. “Tetapi bisa jadi juga sebaliknya.
Merenungi lebih dalam makna Bismillah, kita akan paham bahwa ketika setiap
melakuan sesuatu dengan mengawalinya dengan Bismillah akan memberikan kekuatan
luar biasa, seperti penjelasan mamik tadi.”
Tadarusan
pagi ini menjadi semakin hangat. Semua ikut memberi tanggapan.
“Karena
itulah mengapa Rasulullah disebut Quran berjalan. Karena beliau adalah utusan,
rasul, representasi dari kalamullah, titah Allah. ‘Seperti apa akhlak
Rasulullah itu?,’ tanya seseorang kapada sayyidah Aisyah. ‘Seperti Quran.
Beliau adalah Quran yang berjalan,’ jawab Aisyah.” Mamik Udhin menjelaskan
dengan tenang namun bertenaga.
“Ini mengingatkan saya pada hadits Qudsi, bahwa ketika seseorang
telah mencapai kedekatan kepada Allah maka Allah akan menjadi pendengarannya,
penglihatannya, mulutnya, dan sebagainya sebagai perwujudan nilai-nilai
ketuhanan. Artinya hamba itu merepresentasikan Allah atau lebih pasnya cahaya
Allah memencar dalam tindak tanduknya.” Amang mencoba memberi sudut pandang
berdasarkan sebuah hadits Qudsi yang pernah ia baca.
“Saya
salut. Nampak kalian suka membaca. Amang, jangan berhenti, teruslah belajar.
Jadilah pembelajar sekajati,” nasehat Mamik
Amang
hanya nunduk agak malu mendapat pujian. “Siap! InsyaAllah mamik,” katanya pelan
sedikit nyengir.
“Pertanyaannya,
apa nilai-nilai dari basmallah yang
dapat diwujudkan dalam dunia praktis? Mungkinkah kita menghubungkan filosofi Basmallah
ini dengan perinsip-prinsip kerja dan sikap kita sehari-hari?” Mamik Seni
memberi tantangan.
“Pertama,
saya kira,” kata Ece, “kesadaran ilahiyah ini akan menuntun kita untuk berusaha
melakukan hal-hal yang baik dan bermanfaat. Kita akan memiliki dorongan kuat
untuk berusaha sekuat tenaga melakukan hal-hal yang baik saja. ‘Allah itu Baik,
Maha Baik, dan tidak menerima kecuali yang baik-baik saja.”
“Satu.
Kedua?”
“Kedua,
kita merasa didampingi dan tentunya disupport
oleh suatu kekuatan yang maha dahsyat,” Him juga angkat biacara. “Jika
seseorang yang kita cintai dan mencitai kita mendampingi dan memberi dukungan
kepada kita ketika melakukan sesuatu, tentulah kita merasa tenang dan damai. Kita
dapat bekerja dengan kekuatan dan konsentrasi penuh. Bagaimana jika yang kita
cintai dan mencintai kita itu adalah Allah? Pastilah ketenangan dan kedamaian
itu akan lebih dahsyat lagi. Jika Dia yang Maha Kuat, yang memiliki apa saja
yang ada di langit dan bumi ini, mendukung dan menyokong penuh kita, tentulah
kekuatan kita akan menjadi berlipat-lipat.
“Maka,
inspirasi yang keluar dari kita adalah inspirasi yang bening. Kecerdasan yang
terpancar adalah kecerdasan yang tercerahkan. Semangat yang timbul adalah
kekuatan yang telah diberi energi tak terbatas.”
“Dua.
Ketiga?”
Amang,
Ece dan Him diam sejenak tetapi tatap fokus ke tantangan Mamik Seni.
“Ketiga,”
sergah Nakir, “dukungan dan kekuatan di atas membuat kita akan dapat melakukan
sesuatu dengan sepenuh hati. Hal ini akan tampak dalam sikap yang siap
menolong, murah hati dan ramah pada siapapun. Inilah inti ar-Rahmân.
“Ini
seperti penjelasan yang sering kita dengar, bahwa rahmân adalah kasih sayang Allah yang diberikan kepada siapa saja,
tanpa mempertibangkan seseorang itu baik atau buruk, beriman atau mengingkari,
bersyukur atau membangkang. Semua mendapat limpahan kasih sayang Allah.
“Itulah
wujudnya janji Allah sendiri bahwa Dia telah mewajibkan kasih sayang untuk
diberikan kepada seluruh makhluk-Nya. Dan itulah, menurut heman saya, Mamik,
yang perlu kita contoh dan terapkan dalam kehidupan sehari-hari, dalam bekerja,
dalam memberi pelayanan dan lain-lain. Bekerja itu harus sepenuh hati—dengan
dasar cinta, kata orang sekarang.” Nakir berbicara penuh percaya diri bak
ustadz yang baru tamat kuliah.
Tiga
temannya yang lain hanya diam. Juga Mamik Seni. Tetapi diam mereka kali ini
adalah diam terkesima.
“Tiga.
Keempat?”
Tidak
ada jawaban.
“Baiklah,
saya nyumbang yang keempat,” kata Mamik Seni, “yaitu perlunya memberi reward atau penghargaan khusus kepada orang
atau pihak tertentu yang memiliki pencapaian khusus atau istimewa. Penghargaan
itu tak harus berbentuk materi, meskipun biasanya pemberian materi akan lebih
berkesan. Namun, setidaknya, sekedar ucapkan terimakasih atas suatu capaian
atau kesuksesan, sekecil apapun bentuknya, yang ditunjukkan oleh seseorang
dapat merupakan penghargaan yang membahagiakan. Inilah bentuk ar-Rahîm, suatu atribut Allah SWT yang
memberi khusus bagi mereka yang setia dan sepenuh hati menjalankan ajaran-Nya.
“Semoga
kita bisa mewujudkan nilai-nilai bismillâhirrahmânirrahîm
dalam kehidupan sehari-hari. O ya, saya merasa bahagian pagi ini. Antum semua
sudah mulai membuka pikiran. Terimakasih atas sharing ilmunya. Semoga Allah
selalu melimpahi kita dengan kecerdasan para Nabi, para shabat dan para alim
ulama yang telah berjasa besar bagi kita semua,” kata Mamik Seni menutup
penjelasannya lalu memberi salam.
“Maaf,
Mik. Kedengarannya pas kalau
dijadikan nilai-nilai yang mendasari tata kelola kerja yang baik. Good governance, mamik,” kata Ece
nyeletuk.
“Beleh
juga tuh. Ente kan orang kantoran.
Coba buatkan juklak-juknisnya.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar