Kamis, 23 Agustus 2012

Bismillah! Menyerap Energi Ilahiyah (Pintu Pertama)


Dengan nama Allah
Yang Maha Mengasihi (jagat raya dan seisinya)
Yang Maha Mencintai (para penempuh jalan kebenaran)

-- Terjemah Maknawiyah, Al-Fatihah (1): 1

Kata Kunci: Allah, Maha Mengasihi, Maha Mencintai

Bismillâhirrahmânirrahîm atau biasa disebut basmallah adalah sebuah kalimat sakti. Dengannya kita memulai segala hal. Tanpanya apapun yang kita kerjakan menjadi sia-sia,” kata Mamik Seni memulai tadarusan pagi kedua.
“Termasuk hal yang buruk sekalipun, mamik?” sergah Ece.
“Ya, termasuk pekerjaan yang buruk. Tetapi dengan syarat ucapkanlah dengan sepenuh hati. Mudahan setelah itu kamu malu sendiri lalu tidak jadi melaksanakan hal yang buruk itu,” kata Mamik Seni berdiplomasi. Ada senyum tersungging.
Ece tersipu. Him dan Amang mengusap punggunya. “Makanya jangan punya niat buruk.” Mereka serempak berbisik ke telinga Ece.
“Baiklah, kita memulai tadarusan kedua ini. Ulama berbeda pendapat apakah basmallah termasuk bagian dari ayat al-Fatihah atau tidak, “ kata Mamik Seni melanjutkan, “Namun sebagian besar mengatakan ia termasuk.  Karena itu kita dapatkan hampir pada semua mushaf Quran yang diterbitkan di berbagai belahan dunia, termasuk yang hanya berbentuk terjemahan, basmallah dicantumkan sebagai ayat pertama surat al-Fatihah. Basmallah juga ditulis sebelum memulai setiap surat—kecuali pada surat al-Bara’ah atau lebih dikenal dengan at-Taubah—meskipun tidak dimasukkan sebagai bagian dari ayatnya.”
“Mengapa, Mik?” tanya Amang penasaran.
“Itu nanti kita dijelaskan ketika membahas surat terkait. Tentang Bismillah, Rasulullah SAW bersabda, ‘Setiap pekerjaan tanpa diawali dengan bismillâh adalah cacat.’ Meskipun hadits ini dianggap dhaîf, namun tidak satupun ulama yang menolak substansi pesan yang dikandungnya. Mereka bersepakat bahwa setiap pekerjaan mestilah diawali dengan basmallah, yaitu sebuah kesadaran akan pelibatan dan kehadiran Allah dalam setiap hal yang kita lakukan.”
“Maksud cacat di sini bagaimana, Mamik?”
“Cacatnya pekerjaan yang tidak diawali dengan bismillah itu, kata seorang ulama, karena kita berarti melupakan Tuhan, Allah SWT. Kita lupa bahwa semua energi untuk bekerja atau beraktifitas itu merupakan karunia Allah SWT, pemilik alam semesta dan isinya. Allah adalah sumber semua energi, asal segala sesuatu, maka semua harus dikembalikan ke pemiliki asalnya. ‘Tidak ada sesuatu apapun kecuali pada Kami lah sumbernya,’ firman Allah dalam al-Hijr (15): 21.”
“Maka mengucapkan bismillah itu,” sela Ece, ”sesungguhnya untuk menegaskan pengakuan atas keilahian Allah dan bahwa Dialah sumber dan asal segala sesuatu. Apa saja yang kita lakukan sesungguhnya menggunakan karunia yang telah Tuhan berikan kepada kita. Begitu, mamik?”
“Benar sekali,” jawab Mamik Seni. “Selain itu, ketika seseorang memulai suatu kegiatan dengan bismillah (dengan atau atas nama Allah), seperti dijelaskan oleh As Sa’di, maka orang itu telah menyematkan semua nama-nama Allah yang indah (al asma al husna) pada kegiatan itu. Dan itu berarti ia berharap agar semua potensi kekuatan ilahiyah itu dapat terserap dan menjadi energi yang membantunya dalam bekerja.”
“Subhanallah, saya ingin kekuatan ilahiyah itu. Bisa jelaskan lebih lanjut, Mamik?” Ece terkesima.
“Ketika seseorang mengucapkan Bismillah dalam memulai suatu pekerjaan, berarti sebuah tindakan telah diikrarkan atas nama Allah. Orang itu seolah-olah mengucapkan: ‘Dengan dan atas nama-Mu, ya Allah, aku melakukan pekerjaan ini.’ Maka seketika itu, sadar atau tidak, aspek keilahian telah dilekatkan pada tindakan atau pekerjaan itu. Dengan kata lain kita telah menjadi duta Allah dalam pekerjaan itu.”
Amang hanya diam. Sementera Him dan Ece saling lirik. Udara pagi di kampung Tinggar yang segar tak mampu membuat mereka duduk dengan tegak.
“Saya paham maksudnya, mami,” kata Ece, “tetapi kedengarannya agak berat. Maksud saya, itu terasa begitu sakral sehingga secara batin terasa berat sekali. Hmmm, tetapi kalau dipikir-pikir memang demikian adanya. Itu seumpama seseorang yang diutus oleh seorang raja, misalnya, maka ketika itu ia sesungguhnya representasi atau ‘perwujudan’ dari sang raja. Apa saja yang dia lakukan akan dipandang sebagai sikap resmi raja.”
“Ya, ini bisa jadi sebuah beban,” Him menimpali. “Tetapi bisa jadi juga sebaliknya. Merenungi lebih dalam makna Bismillah, kita akan paham bahwa ketika setiap melakuan sesuatu dengan mengawalinya dengan Bismillah akan memberikan kekuatan luar biasa, seperti penjelasan mamik tadi.”
Tadarusan pagi ini menjadi semakin hangat. Semua ikut memberi tanggapan.
“Karena itulah mengapa Rasulullah disebut Quran berjalan. Karena beliau adalah utusan, rasul, representasi dari kalamullah, titah Allah. ‘Seperti apa akhlak Rasulullah itu?,’ tanya seseorang kapada sayyidah Aisyah. ‘Seperti Quran. Beliau adalah Quran yang berjalan,’ jawab Aisyah.” Mamik Udhin menjelaskan dengan tenang namun bertenaga.
“Ini mengingatkan saya pada hadits Qudsi, bahwa ketika seseorang telah mencapai kedekatan kepada Allah maka Allah akan menjadi pendengarannya, penglihatannya, mulutnya, dan sebagainya sebagai perwujudan nilai-nilai ketuhanan. Artinya hamba itu merepresentasikan Allah atau lebih pasnya cahaya Allah memencar dalam tindak tanduknya.” Amang mencoba memberi sudut pandang berdasarkan sebuah hadits Qudsi yang pernah ia baca.
“Saya salut. Nampak kalian suka membaca. Amang, jangan berhenti, teruslah belajar. Jadilah pembelajar sekajati,” nasehat Mamik
Amang hanya nunduk agak malu mendapat pujian. “Siap! InsyaAllah mamik,” katanya pelan sedikit nyengir.
“Pertanyaannya, apa nilai-nilai  dari basmallah yang dapat diwujudkan dalam dunia praktis? Mungkinkah kita menghubungkan filosofi Basmallah ini dengan perinsip-prinsip kerja dan sikap kita sehari-hari?” Mamik Seni memberi tantangan.
“Pertama, saya kira,” kata Ece, “kesadaran ilahiyah ini akan menuntun kita untuk berusaha melakukan hal-hal yang baik dan bermanfaat. Kita akan memiliki dorongan kuat untuk berusaha sekuat tenaga melakukan hal-hal yang baik saja. ‘Allah itu Baik, Maha Baik, dan tidak menerima kecuali yang baik-baik saja.”
“Satu. Kedua?” 
“Kedua, kita merasa didampingi dan tentunya disupport oleh suatu kekuatan yang maha dahsyat,” Him juga angkat biacara. “Jika seseorang yang kita cintai dan mencitai kita mendampingi dan memberi dukungan kepada kita ketika melakukan sesuatu, tentulah kita merasa tenang dan damai. Kita dapat bekerja dengan kekuatan dan konsentrasi penuh. Bagaimana jika yang kita cintai dan mencintai kita itu adalah Allah? Pastilah ketenangan dan kedamaian itu akan lebih dahsyat lagi. Jika Dia yang Maha Kuat, yang memiliki apa saja yang ada di langit dan bumi ini, mendukung dan menyokong penuh kita, tentulah kekuatan kita akan menjadi berlipat-lipat.
“Maka, inspirasi yang keluar dari kita adalah inspirasi yang bening. Kecerdasan yang terpancar adalah kecerdasan yang tercerahkan. Semangat yang timbul adalah kekuatan yang telah diberi energi tak terbatas.”
“Dua. Ketiga?”
Amang, Ece dan Him diam sejenak tetapi tatap fokus ke tantangan Mamik Seni.
“Ketiga,” sergah Nakir, “dukungan dan kekuatan di atas membuat kita akan dapat melakukan sesuatu dengan sepenuh hati. Hal ini akan tampak dalam sikap yang siap menolong, murah hati dan ramah pada siapapun. Inilah inti ar-Rahmân.
“Ini seperti penjelasan yang sering kita dengar, bahwa rahmân adalah kasih sayang Allah yang diberikan kepada siapa saja, tanpa mempertibangkan seseorang itu baik atau buruk, beriman atau mengingkari, bersyukur atau membangkang. Semua mendapat limpahan kasih sayang Allah.
“Itulah wujudnya janji Allah sendiri bahwa Dia telah mewajibkan kasih sayang untuk diberikan kepada seluruh makhluk-Nya. Dan itulah, menurut heman saya, Mamik, yang perlu kita contoh dan terapkan dalam kehidupan sehari-hari, dalam bekerja, dalam memberi pelayanan dan lain-lain. Bekerja itu harus sepenuh hati—dengan dasar cinta, kata orang sekarang.” Nakir berbicara penuh percaya diri bak ustadz yang baru tamat kuliah.
Tiga temannya yang lain hanya diam. Juga Mamik Seni. Tetapi diam mereka kali ini adalah diam terkesima.
“Tiga. Keempat?”
Tidak ada jawaban.
“Baiklah, saya nyumbang yang keempat,” kata Mamik Seni, “yaitu perlunya memberi reward atau penghargaan khusus kepada orang atau pihak tertentu yang memiliki pencapaian khusus atau istimewa. Penghargaan itu tak harus berbentuk materi, meskipun biasanya pemberian materi akan lebih berkesan. Namun, setidaknya, sekedar ucapkan terimakasih atas suatu capaian atau kesuksesan, sekecil apapun bentuknya, yang ditunjukkan oleh seseorang dapat merupakan penghargaan yang membahagiakan. Inilah bentuk ar-Rahîm, suatu atribut Allah SWT yang memberi khusus bagi mereka yang setia dan sepenuh hati menjalankan ajaran-Nya.
“Semoga kita bisa mewujudkan nilai-nilai bismillâhirrahmânirrahîm dalam kehidupan sehari-hari. O ya, saya merasa bahagian pagi ini. Antum semua sudah mulai membuka pikiran. Terimakasih atas sharing ilmunya. Semoga Allah selalu melimpahi kita dengan kecerdasan para Nabi, para shabat dan para alim ulama yang telah berjasa besar bagi kita semua,” kata Mamik Seni menutup penjelasannya lalu memberi salam.
“Maaf, Mik. Kedengarannya pas kalau dijadikan nilai-nilai yang mendasari tata kelola kerja yang baik. Good governance, mamik,” kata Ece nyeletuk.
“Beleh juga tuh. Ente kan orang kantoran. Coba buatkan juklak-juknisnya.”

Masjid al Makmur, Cileduk, 21 Ramadan 1433/10 Agustus 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar