Dengan nama Allah, Maha Mengasihi, Maha Menyayangi
(1).
Segala puji bagi Allah
Pengembang, Pendidik, Pemelihara alam
semesta
Yang Maha Mencintai jagat
raya dan seisinya
Yang Maha Menyayangi para
penempuh jalan kebenaran
Penguasa mutlak Hari Pertanggungjawaban
Hanya untuk-Mu kami persembahkan hidup ini
Dan hanya dari-Mu kami mengharap pertolongan
(2-5).
Tuhan, bentangkan di hadapan kami jalan yang benar
Jalan orang yang Engkau anugrahi kesempurnaan
nikmat
Yang tidak pernah membuat-Mu murka,
Dan tidak pula jalan orang yang tersesat (6-7).
Terjemah Maknawiyah al-Fatihah (1): 1-7
Kata Kunci: Allah,
kasih sayang, semesta alam, penguasa, nikmat, jalan kebenaran, jalan kesesatan.
Hari ini adalah hari
pertama majlis tadarusan dimulai. Mamik[1] Seni[2], Amang, Nakir, Him dan Ece
telah bersepakat beberapa hari yang lalu bahwa mereka akan secara rutin mengaji
bersama sehabis salat subuh di masjid al-Amin. Ini sekaligus menghidupkan kembali
masjid tua peninggalan papuk-balo’[3]
mereka di kampung Tinggar yang beberapa tahun belakangan tak terurus. Mereka
sengaja tidak memilih masjid at-Taubah yang merupakan masjid utama kampung
mereka, karena masjid itu sudah cukup terurus dengan baik. Mereka berharap
masjid tua yang merupakan asset berharga tapi tak terurus ini suatu saat
menjadi lembaga pendidikan yang mumpuni bagi anak-cucu mereka.
“Ketika duduk bersama Jibril, Rasulullah mendengar suara dari atas mereka,”
Mamik Seni memulai tadarusan pertamanya. “Jibril memandang ke atas dan berkata:
‘Ini adalah suara pintu gerbang surga yang terbuka hari ini. Pintu ini tidak
pernah terbuka sebelumnya.’ Kemudian sesosok malaikat turun melalui pintu itu
dan mendatangi Rasulullah. ‘Berbahagialah atas berita baik tentang dua cahaya
yang telah diberikan kepadamu, wahai Rasul,’ katanya kepada Nabi. ‘Cahaya ini tidak
diberikan kepada nabi-nabi sebelum engkau, yaitu surat al-Fatihah dan dua ayat
terakhir surat al-Baqarah. Engkau tidak membaca satu katapun darinya kecuali
akan dianugerahi seluruh kebaikan yang ada pada keduanya’ (Muslim No. 1.759).”
“Rasulullah pernah juga menjelaskan, ‘Demi yang jiwaku
berada di tangan-Nya, Alllah tidak menurunkan pada Taurat, Injil, Zabur dan,
bahkan (tidak pada) al-Qur`an sendiri, sesuatu yang sebanding dengan al-Fatihah’
(Sunan Tirmidzi, No. 2.800).”
Suasana cukup tenang. Amang, Nakir, Him dan Ece menyimak
dengan khidmat.
“Imam Tirmidzi menjelaskan,” kata Mamik Seni melanjutkan, “al-Fatihah
adalah Induk Kitab (ummul kitâb),
atau Intisari Quran (ummul qur’ân). Ia adalah Tujuh yang Dibaca Berulang-ulang (as-sab’ul matsâniy). Bahkan surat ini disebut sebagai Quran yang Agung
itu sendiri.”
“Kalau diibarakan makanan, maka al-Fatihah itu ibarat ekstrak, sari pati
dari sebuah makanan yang satu biji kapsul kecil senilai dengan beberapa kilo,”
kata Nakir mencoba menghangatkan suasana.
“Ya, kira-kira semacam itu. Itulah mengapa menurut Ibnu Abbas al-Fatihah
memuat nilai-nilai dasar Quran (Asâsul Qur’ân). Lebih jauh lagi Imam Ibn Jarir at-Tabari menjelaskan bahwa al-Fatihan mensarikan semua kandungan Quran, karena itulah ia disebut
Indul Kitab (Umm al-Kitab). Orang
arab biasanya menyebut sesuatu yang secara tepat memuat inti sari sesuatu atau
mengandung hal-hal paling penting darinya sebagai al-umm (induk). Maka, seperti kata Imam Ibnu Katsir, semua pesan Quran kembali
kepada kandungan makna al-Fatihah ini.
“Dengan
demikian surat al-Fatihah memiliki kedudukan sentral. Ia adalah inti Quran.
Nilai-nilai yang termuat di dalamnya merupakan fondasi universal yang membawa
keselamatan dunia akhirat. Nilai-nilai itu, jika dipegang teguh, memastikan
seseorang ‘mendapatkan apa yang dia minta,’ seperti ditegaskan sebuah hadis
yang diriwayatkan Imam Muslim dari Abu Hurairah.
“’Aku membagi shalat antara Aku dan hamba-Ku secara seimbang,” kata Allah
SWT, ‘dan hamba-Ku akan dianugrahi apa saja yang ia minta.’ Karena itu ketika
sang hamba berkata, ‘Segala puji bagi Allah, Pengembang, Pendidik, Pemelihara alam
semesta,’ Allah menimpali, ‘Hambaku telah memuji-Ku.’
Ketika dia berkata, ‘Yang Maha Mencintai, Yang Maha Menyayangi
sepenuhnya,’ Allah berkata, ‘Hamba-Ku telah memuja-Ku.’ Ketika berkata, ‘Penguasa
mutlak Hari Pertanggungjawaban,’ Allah menimpali, ‘Hamba-Ku telah mengagungkan-Ku.’
“’Ketika hamba berkata, ‘Hanya
untuk-Mu kami persembahkan hidup ini. Dan hanya dari-Mu kami mengharap
pertolongan,’ Allah berkata, ‘Inilah antara Aku dan hamba-Ku dan hamba-Ku akan
mendapatkan apa yang dimintanya.’ Ketika dia berkata, ‘Tuhan, bentangkan di
hadapan kami jalan yang benar. Jalan orang yang Engkau anugrahi kesempurnaan
nikmat, yang tidak pernah membuat-Mu murka, dan tidak pula jalan orang yang
tersesat,’ Allah menimpali dengan kata sama, ‘Inilah antara Aku dan hamba-Ku
dan hamba-Ku akan mendapatkan apa yang dia minta.’
Mamik
Seni menutup pengantarnya tentang al-Fatihah dengan mengutip hadits di atas. Ia
tak menjelaskan apapun, sebab baginya semua sudah cukup jelas. Ia hanya
membiarkan Amang dan teman-temannya merasakan sendiri secara langsung dari
penjelasan hadits dan para ulama di atas. Karena itu ia juga lebih menitikberatkan
pada kesan, pada apa yang datang secara halus pada hati dan pikiran mereka. Dan
dengan itu ia mengajak mereka bertadabbur, mengambil pelajaran dari
untaian-untaian setiap ayat Quran untuk dijadikan pijakan nilai dalam kehidupan
sehari-hari.
“Membaca surat Pembuka Quran ini secara
perlahan dan memasukkan setiap kata dalam kebeningan hati,” kata Mamik Seni
memulai tadabburnya, “terasa sebuah penegasan atas inti ajaran agama yang mulia
ini.”
“Apa saja inti ajaran agama itu, Mamik?,”
tanya Amang penasaran.
“Al-Fatihah adalah sebuah penegasan
tentang keimanan dan pengakuan atas Kemahabaikan Allah SWT,” suara Tua’ Seni
dalam. “Surat ini juga berbicara bahwa penyembahan, ketundukan, atau ‘ibâdah itu memang hanya pantas
bagi-Nya. Ia juga menegaskan tentang berislâm
sebagai hidayah, bahwa penyerahan diri dan kerelaan kepada keinginan-Nya adalan
pilihan satu-satunya. Lalu ditutup dengan kemestian meniti hidup ini di atas
jalan kebenaran, as-shirâth al-mustaqîm.”
“Dialah Yang Maha. Pecinta
Sejati,” kata Mamik Seni sedikit puitis. “Kasih-sayang-Nya menyeluruh, meliputi
semuanya. Dialah Pemberi Yang Tulus. Pada keagungan-Nya segala keangkuhan
luluh. Pada kemurnian cinta-Nya semua kebencian meleleh. Yang tinggal hanyalah
keteduhan dan rasa hormat yang sangat dalam pada setiap makluk-Nya, bahkan
kepada mereka yang menolak-Nya.”
Lalu tiba-tiba Mamik Seni
menunduk sambil terbata-bata mengucapkan kata-kata berkut:
“Ya Rahman,
dengan kasih-Mu, jadikan aku tunduk pada keagungan-Mu.
Ya Rahim, dengan
cinta-Mu, jadikah aku patuh pada kehendak-Mu.
Jadikan aku,
pikiranku, cita-citaku, perbuatan bahkan diamku berguna bagi kebaikan semesta.
Arahkan aku meniti jalan nikmat, jalan cinta, jalan yang ruasnya adalah
keindahan, bahu dan kerikilnya adalah pengingat yang mendamaikan.
Hindari kami
dari angkara murka dunia yang menyesatkan. Jauhkan pikiran, lamunan, keinginan
dan seluruh anggota tubuh kami dari jalan kesesatan, yang tercela, jalan yang
menimbulkan caci maki dan amarah (al-maghdlûb ‘alaihim).”
Suasana masjid al-Amin yang
sederhana dan tua terasa semakin teduh. Ada kekhusyukan yang menyelinap di
antara sinar fajar matahari yang muncul dari celah Rinjani dan menerpa
genteng-genteng yang kusam.
Beberapa detik sepi. Amang,
Him, dan Ece yang biasa menemani Mamik Seni hanya diam. Mereka juga merasakan
keheningan yang sama.
“Amin, amin. Perkenankan,
ya Rabb, perkenankan” kata Mamik lirih memecah keheningan.
Amang dak
kawan-kawannya juga mengucapkan amin. Tapi suaranya lebih parau lagi, hampir
tak terdengar.
“Ada hal lain yang
dapat kita ambil dari al-Fatihah,” Mamik Seni memulai lagi obrolannya, “setiap
ayatnya menunjuki kita setidaknya sebuah nilai penting.”
Mamik Seni diam
sejenak. Sengaja, untuk membangun rasa penasaran dan konsentrasi lawan
bicaranya. Tiga puluh detik kemudian dia melanjutkan.
“Tujuh ayat yang
terkadung dalam surat al-Fatihah ini mengajarkan kita tujuh nilai fundamental. Tujuh nilai itu seumpama tujuh pintu
menuju kesuksesan dunia dan akhirat—tujuh pintu yang, seperti penjelasan sebuah
hadits, memastikan seseorang mendapatkan apa yang dia minta. Wa li-‘abdi mâ sa-`ala.
“Ayat pertama, bismillâhirrahmânirrahîm (Dengan nama
Allah, Maha Mengasihi, Maha Menyayangi). Terjemahan umum bismillah adalah
‘dengan nama Allah’. Terjemahan yang lebih tepat sesungguhnya adalah ‘atas nama
Allah.’ Karena itu bismillah mengajari kita untuk menyadari bahwa setiap
tindakan kita sesungguhnya adalah atas nama Allah SWT. Apalagi Rasulullah SAW
menegaskan agar segala sesuatu yang kita lakukan haruslah diawali dengan bismillah.
‘Setiap pekerjaan yang dimulai tanpa bismillah akan sia-sia,’ sabda beliau SAW.
“Nah, ketika segala sesuatu yang kita kerjakan mengatasnamakan Allah
maka kita sesungguhnya sedang menyerap energy ilahiyah. Kita berarti memiliki
potensi kekuatan yang tak terhingga—sebuah kekuatan bersama alam semesta.
“Ketika kekuatan itu telah
kita miliki maka kalimat ‘cukuplah Allah bagi kita, Dialah sebaik-baik
pelindung dan penolong’ (hasbunallâh
wani’mal wakîl ni’mal maulâ wa ni’man nashîr) benar-benar terasa dan
mewujud.”
“Begitu luar biasa
kandungan kalimat ini,” kata Amang terkesima.
“Tentu, karena itulah
mengapa ia menjadi kalimat atau ayat pertama surat al-Fatihah. Bahkan ayat
pembuka keseluruhan Quran. Tetapi kita akan membahasanya lebih jauh nanti pada
tadarusan berikutnya,” kata Mamik Seni.
“Ayat kedua, alhamdulillâh rabbil ‘âlamîn,” kata Mamik
melanjutkan. “Ayat ini secara maknawi
berarti ‘Segala puji bagi Allah: Pengembang, Pendidik, Pemelihara alam semesta.’
Rab pada ayat ini sebenarnya kurang tepat
diartikan Tuhan. Ia memiliki makna yang luas: pemilik, pemelihara, pengembang,
pendidik, pengayom dan lain-lain. Lebih jauh, ayat ini mengajari kita untuk
selalu berfikir positif.
“Alhamdulillah,
segala pujian bagi Allah. Ini juga berarti apa yang saja yang Allah ciptakan
memiliki makna, bukan sekedar makna tapi juga kebaikan, peran penting dan
sebagainya. Tak ada suatu apapun yang terjadi dan kita alami, asal diawali
dengan bismillah, yang tidak baik. Semua memiliki kegunaan dan kebaikan. Karena
Dia adalah rabbul ‘âlamîn: penjaga,
pengayom, dan pelindung alam semesata dan segala yang terjadi padanya.”
“Walaupun saya yang
pesek ini, Mamik?” tanyak Amang penasaran. Him dan Ece tak kuasa menahan senyum
sambil terkekeh-kekeh.
“Ya. Kepesekanmu
memiliki mistri, Amang. Kamu hanya perlu mencari cara menjadikannya kelebihan
bagimu. Banyak kita dapati mereka yang menjadikan sesuatu yang dinilai
kekurangan pada dirinya, dengan kesabaran dan kerja keras, menjadikannya justru
sebagai nilai jual baginya,” timpal Mamik Seni bak seorang motivator.
“Mamik, tiang[4]
ingin mengerti lebih jauh.” Amang Nampak penasaran ingin menggali tema ini.
Tetapi ini adalah sesi pengantar maka diskusi lebih jelas akan disampaikan pada
sesi-sesi selanjutnya.
“Kamu sabar, ya,
Amang. Nanti kita bahas secara terperinci pada waktunya,” kata Mamik. “O ya, ayat
kedua ini juga menegaskan tentang perlunya menjalin hubungan baik dengan alam
semesta. Jika Allah telah dan terus menjaga bumi dan alam semesta ini, serta
memastikan kebaikan atasnya maka tidak pantas bagi kita, sebagai makhluk-Nya
yang terbaik, yang dikarunia akal dan fikiran, untuk merusaknya. ‘Jangan buat
kerusakan di bumi ini. Sungguh Allah tidak memberi cintanya kepada orang yang
membuat kerusakan,’ ancam Allah dalam surat Al-Baqarah, ayat.
“Inilah pintu kedua
kesuksesan yang diajari oleh ayat kedua ini: Memuji Allah atas kebaikan yang
Dia ciptakan pada setiap makhluknya dan memastikan kita menjaga alam semesta
ini, menjalin hubungan baik dengannya dan tidak merusak kebaikan yang ada padanya,”
Mamik Seni menutup pengantar untuk menjelaskan ayat kedua surat al-Fatihah ini.
“Nah sekarang ayat
ketiga,” kata Mamik masih semangat. “Arrahmânirrahîm.
Ayat ini bermakna ‘Yang Maha Mencintai
jagat raya dan seisinya, Yang Maha
Menyayangi para penempuh jalan kebenaran.’ Ia mengajari kita untuk mencintai dan
menyayangi dengan sepenuh hati. Inilah pintu ketiga untuk memperolah keberkahan
dan kesuksesan hidup dunia dan akhirat. Dua kali dalam sebuah surat yang pendek
sifat Allah ini disebut. Ini tentunya mengisyaratkan posisi penting atribut
Allah ini. Dalam sebuah hadits dijelaskan bahwa Allah telah mewajibkan atas
diri-Nya untuk menyayangi makhluknya, apa dan siapapun dia.”
“Ini sepertinya
nyambung dengan semangat alhamdulilah tadi, Mamik,” kata Him mencoba
menghubungkan ayat kedua dan ketiga.
“Benar sekali. Inilah
pintu keberkahan dan kesuksesan ketiga. Semoga kita selalau dapat mengusung
kasih dan saying dalam kehidupan sehari-hari baik terhadap manusia, tumbuh-tumbuhan,
binatang, bumi, air dan semua maklhluk Allah,” harap Mamik Seni.
“Bagaimana dengan mâliki yaumiddîn, Mamik? Apa nilai-nilai
yang dapat kita ambil dari ayat keempat ini?” tanya Ece mencoba menunjukkan
minatnya pada diskusi.
“Mâliki yaumiddîn (Penguasa mutlak Hari Pertanggungjawaban),” kata Mamik
Seni, “mengajarkan kita untuk selalu bertanggungjawab. Apapun yang kita
kerjakan, pililihan-pilihan apapun yang kita ambil, memiliki konsekwensi. Pintu
keempat kesuksesan adalah ketika kita mempertimbangkan dan memperhitungkan apa
saja yang kita ambil. Seseorang harus melakukan sesuatu dengan penuh kesadaran
dan pertimbangan.”
“Saya membayangkan
seorang muslim itu benar-benar seorang pemikir. Dia harus cerdas, sebab dengan
begitu dia dapat menimbang suatu langkah: baik atau buruk akibatnya,” komentar
Him.
“Bener sekali, karena
itu ente pada harus banyak membaca. Belajarlah terus, biar pada cerdas,” kata Mamik
Seni serius tapi dengan gesture bercanda.
“Baiklah, sekarang
kita memasuki ayat keliama,” Mamik Seni melanjutkan. “Iyyâka na’budu wa iyyâka nasta’în, Hanya untuk-Mu kami persembahkan hidup ini. Dan hanya dari-Mu kami
mengharap pertolongan. Ayat ini mengajari kita melakukan sesuatu dengan
sepenuh hati dan fokus.
“Menurut beberapa
ulama, inti Quran adalah al-Fatihah dan inti al-Fatihah adalah ayat kelima ini.
Ini berarti bawah nilai yang dikandung ayat ini sangat utama. Bukankah sejarah
sukses adalah sejarah kerja dengan sepenuh hati dan fokus? Bahkan seseorang
boleh saja kurang memiliki kasih saying, tidak memiliki kesadaran ketuhanan,
tetapi jika ia mengejar mimpinya dengan bekerja sepenuh hati dan fokus,
melibatkan seluruh kemampuan dirinya, maka ia akan dapat mencapai kesuksesan
yang ia inginkan.
“Saya kira ada hal
lain yang sangat penting yang di singgung ayat ini, Mamik,” kata Him memberi
tanggapan. “Ayat ini juga mengajari kita
keikhlasan, yaitu dengan meniatkannya sebagai ibadah. Fokus menghendaki
ketidakpedulian kecuali kepada tujuan utama. Hanya keikhlasan yang membuat kita
tidak peduli pada halangan, cemoohan dan kesulitan-kesulitan yang dihadapi.
Terakhir ayat ini juga menegaskan bahwa kita tidak bisa bekerja sendir, kita
butuh pertolongan Allah, dan tentunya pertolongan Allah itu datang dari
hamba-hambanya. Disinilah kerjasama, hubungan baik diperlukan.”
“Niatkan semuanya
ibadah, bagus sekali itu,” jawab Mamik Seni akur. “Iyyâka na’budu, hanya kepada-Mu yang Allah aku mempersembahkan
hidup ini. Ini artinya semua didasarkan niat lillâhi ta’âla. Lalu dalam proses itu semua selalulah memohon
pertolongan. Berdoalah, mintalah pertolongan kepda-Nya, juga kepada
hamba-hamba-Nya.”
“Jadi kalo boleh saya
simpulkan, Mamik,” kata Him memberanikan diri, “Pintu kelima kesuksuksesan adalah bekerja dengan fokus, sepenuh hati,
ikhlas dengan niat ibadah dan memastikan dukungan dari orang lain..”
Mamik Seni tidak
berkata apa-apa. Ia hanya diam memandangi Him sambil tersenyum tanda salut dan
setuju atas kesimpulan yang dia sampaikan.
“Gunakan hati, juga
pikiran kalian, seperti saudara kita ini.” Disanjung demikian Him merasa
terbang.
“Baiklah, kita ke ayat
keenam. Ihdinas shirâthal mustaqîm (Tuhan, bentangkan di hadapan kami jalan yang
benar). Apa yang anda rasakan ketika membaca ayat ini?” tanya Mamik Seni
memancing.
Suasanan sejenak
tenang. Tak ada suara.
“Sebuah permintaan
menuntut konsistensi kita menerima apapun konsekwensi jika sebuah permintaan
dipenuhi. Ayat keenam ini adalah sebuah permintaan yang sungguh-sungguh yang
diajarkan Tuhan kepada kita. Inilah jenis permintaan pertama dan satu-satunya
dalam sebuah surat yang merupakan intisari Quran.
“Ini berarti bahwa
isi permintaan ini sangat penting sehingga Tuhan sendiri yang mengajarkannya.
Jelas sekali bahwa yang diajarkan oleh Tuhan adalah agar kita minta dihamparkan
jalan yang lurus—as-shirâthal mustaqîm.
Ayat ini mengajari kita pintu keenam kesuksesan
yaitu setia pada kebenaran—menjalani hidup dengan mengikuti kata hati.
Kesuksesan itu tidak hanya ketika kita mendapatkan keberlimpahan materi, tetapi
yang lebih utama adalah pada bagaimana kita meraihnya. Mungkin untuk sementara
kita dapat meraih “kesuksesan”—dalam tanda kutip—tanpa setia pada kebenaran,
tetapi sejarah menunjukkan bahwa kesuksesan seperti ini tidak lama. Mengapa?
Sebab kesuksesan semacam ini bersifat sangat individual dan terbatas. Kita
untung tetapi pada saat yang sama merugikan orang lain. Artinya telah terjadi
ketidakseimbangan sosial. Dimanapun, ketika ketidakseimbangan terjadi maka
kehidupan akan menjadi rawan dan mudah meledak, membuyarkan. Maka seseorang
bisa saja kaya sendiri tetapi hidupnya sungguh dalam ancaman.”
Tak ada tanggapan,
maka Mamik Seni menlanjutkan.
“Ayat ketujuh, shirâthal ladzîna an’amta ‘alaihim ghairil
maghdhûbi ‘alaihim wa ladhdhâllîn (Jalan
orang yang Engkau anugrahi kesempurnaan nikmat: yang tidak pernah membuat-Mu
murka, dan tidak pula jalan orang yang tersesat), mengajarkan kita untuk
selalu menempuh jalan damai, jalan kenikmatan, bukan jalan yang dipenuhi amarah
dan benci.
“Ayat ini terkait
dengan ayat pertama dan ayat ketiga yang menegaskan sifat Allah yang Mencintai
dan Menyayangi dengan sepenuhnya. Melakukan sesuatu atas nama Allah berarti
melakuknya atas nama cinta dan kasih sayang. Jalan cinta dan kasih sayang
adalah jalan nikmat, jalan damai, jalan yang terhindar dari angkara murka dan api
kebencian.
“Penjelasan lebih
rincin untuk tiap ayat akan kita diskusikan pada tadarusan-tadarusan
berikutnya. Baiklah besok pagi kita ketemua lagi. Wassalamu alaikum.”
Jakarta-Palangka Raya, 16/07/12
[1] Mamik berarti bapak. Di Lombok kata ini
adalah panggilan penghormatan kepada seorang bapak yang judah naik haji. Kalau
belum haji dipanggil amak.
[2] Nama sebenarnya adalah Husni. Di masyarakat Lombok
panggilan seseorang seringkali diringkas dan biasanya agak sedikit unik.
Misalnya, Husni jadi Seni, Aminah jadi Inok, Hikmah jadi Kemah, dan lain-lain.
[3] Papuk-balo’ adalah kakek-nenek.
[4] Tiang adalah bahasa halus untuk saya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar