Kamis, 23 Agustus 2012

Bertanggungjawablah! (Pintu Keempat)


Penguasa hari pertanggungjawaban.
-- Terjemah Maknawiyah, al-Fatihah/1:4

Kata Kuci: Penguasa, pertanggungjawaban

“Ada baiknya kita coba mengaji sambil jalan-jalan, kalau kalian setuju. Kita bisa dialog sambil menikmati udara segar dan aroma pagi rerumputan Lanud Selaparang. Bagaimana, setuju?”
“Setuju, Mamik. Sekalian melihat matahari pagi muncul dari celah-celah gunung Rinjani. Saya yakin ngajinyan makin asyik.”
Begitu keluar dari pintu masjid At-Taubah, mereka langsung ke utara tanpa mampir dulu di masjid al-Amin. Orang-orang berseliweran dan bertegur sapa satu sama lain.
“Sekarang kita bahas ayat keempat: mâliki yaumiddîn,” Mamik memulai tadarusan, sambil sesekali mengucap salam ketika berpapasan dengan yang lain. “Ibnu Katsir menjelaskan, mâlik (mîm panjang) atau malik (mîm pendek) pada ayat ini berarti penguasa atau pemilik. Allah adalah Penguasa Tunggal pada hari ketika setiap manusia dibangkitkan kembali dari kematian. Tak seorangpun dapat berbicara, menyampaikan pembelaan dan lain-lain, tanpa izin-Nya.
“Pada hari ketika ruh-ruh dan para malaikat bangkit dan berbaris. Tak seorangpun dapat berbicara kecuali dengan perkenan Allah yang Penuh Kasih (ar-rahmân) dan ia tak punya pilihan lain kecuali berbicara dengan benar” (al-Naba’/78: 38).
Yaum al-din adalah hari perhitungan—hari  ketika semua orang diminta pertanggunjawaban atas hidup yang dijalani selama di dunia. Hari ketika kebaikan dunia mendatangkan kebahagiaan dan keburukan mengakibatkan kesengsaraan.
“Hari ini kami mengunci mulut mereka. Maka tangan-tangan mereka bicara, kaki-kaki mereka bersaksi atas apa yang dulu mereka kerjakan” (Yasin [36]: 65)
“Kesombongan adalah salah satu penyakit yang akan dipertanggungjawabkan. Rasulullah menerangkan, pada hari itu ‘Allah menggenggam bumi dan menjulurkan langit dengan tangan kanan-Nya sambil nerkata, ‘Akulah raja. Mana raja-raja bumi? Di manakah para penindas dan mereka yang berlaku sombong itu?’”
“Maka, kata Umar RA ‘Berhitunglah sebelum kalian dihitung. Timbanglah sendiri amal kalian sebelum ditimbang. Bersiaplah untuk suatu pertujujukkan besar bagi yang tak suatu apapun tersembunyi dari-Nya.’”
“Saya kok merasa ngeri. Ini terasa lebih  mengancam ketimbang ajakan mengajak kepada kedamaian—ajakan cinta seperti yang kita bicarakan kemarin,” Nakir mencoba menyampaikan kesannya.
“Kalau kita membaca Quran,” jawab Mamiq Seni, “maka kita akan merasakan kalimat-kalimat Quran itu memang terkesan hitam atau putih. Maksudnya kalau salah ya salah, benar ya benar. Ketika berbicara kebaikan ia menggetarkan sehingga seseorang akan merasa tidak punya pilihan kecuali melakukan kebaikan. Ketika berbicara keburukan maka seseorang merasakan tidak punya pilihan lain kecuali menjauhinyan. Kecuali kalau ente pada kagak ngerti, ya susah. Karena itulah dalam banyak riwayat diceritakan, ketika membaca Quran--di dalam maupun di luar salat—kadang Nabi membaca alhamdulilah kadang istigfar. Kandang ternseyum, kadang menangis.
“Ya, seperti Nakir tadi—ngeri ketika membaca ayat ancaman. Dan itu karena ente ngerti, kan, Nakir? Coba kalau tidak mengerti, ndak akan merasakan apa-apa.”
“Ada pandangan yang tidak biasa, Mamik,” kata Ece menyela penjelasan. “Pak Ahmad Chodjim menawarkan sebuah pemaknaan lain atas ayat keempat ini. Malik atau mâlik memang bisa dimaknai penguasa atau pemilik. Sementara yaum, menurut beliau, dalam ayat ini lebih tepat dimaknai dengan alam. Sedangkan al-din lebis pas diartikan kepatuhan ketimbang agama. Jadi ayat ini, menurut beliau, seharusnya dimaknai dengan ‘raja atau penguasa alam kapatuhan.’ Bagaimana menurut Mamik?”
“Memang Pak Chodjim, dalam bukunya tentang al-Fatihah itu, memberikan pemaknaan yang berbeda terhadap ayat keempat al-Fatihah ini, seperti yang ente sebut tadi, Ece. Salah satu keberatan beliau tentang pemaknaan yang ada terhadap ayat keempat al-Fatihah ini adalah terkait funsinya ketika dimaknai sebagai hari pembalasan. Apa fungsi pernyataan bahwa Allah penguasa hari pembalasan kalau memang semua orang sudah beriman. Itu kan sama saja menggarami lautan.
“Lalu, menurut beliau juga, menunggu saat hari pembalasan untuk mengadili tingkah laku manusia terlalu lama. Ini malah bisa melemahkan keimanan. Bayangkan, bumi ini umurnya sudah miliaran tahun, dan kita tidak tahu akan berapa milyar tahun lagi umur bumi ini. Keadilan itu akan datang miliyaran tahun lagi—lama amat. Nah, kalau kita memaknainya dengan ‘Penguasa alam kepatuhan’ dengan makna bahwa semua telah Allah tentukan dengan ukuran-ukurannya, dengan aturan-aturan mainnya, maka setiap perbuatan manusia akan mendapat akibatnya secara langsung saat ini, saat hidup di dunia ini. Misalnya, ketika seseorang memakan sesuatu secara berlebihan, misalnya terlalu banyak makan petai atau jengkol, dan itu akan mengakibatkan reaksi kimia yang buruk kepada tubuh maka ketika orang makan seacara berlebihan akan merasakan akibatnya saat itu juga.
“Dalam konteks inilah pak Chodjim menyandingkan Alam Kepatuhan yang telah fix dengan Alam Dunia (yaum al-dunya) dimana manusia suka bersandiwara, akal-akalan dan lain-lain.
“Hal lain, jika dikatakan Allah penguasa hari pembalasan, dan itu nanti, lah sekarang Allah sedang tidak berkuasa, dong. Sementara kalau kita maknai Allah berkuasa atas alam (bukan hari, lho) kepatuhan, maka itu berlaku dulu, saat ini dan seterusnya. Ini lebih sesuai dengan sifat Allah, huwal awwalu wal aakhiru wa dzhahir wal bathin. Begitu yang saya fahami tentang pikiran Pak Chodjim walaupun kata-katanya tidak persis seperti itu.”
“Tapi, kan, sebenarnya bisa aja kita perlakukan ayat itu sebagai pernyataan Allah khusus untuk kondisi nanti di hari kiamat,” Ece memberi argumentasi. “Sementara untuk masa di dunia kan sudah banyak sekali pernyataan Allah yang menerangkan itu. Termasuk keterangan tentang Allah menentukan kadar atau aturan main tentang kehidupan di dunia in dan bahwa setiap makhluk harus patuh atas ketentuan itu. Kita banyak menemukannya pada ayat lain. Misalnya, Allah telah menentukan hukum alam (sunatullah) dan tidak akan dijumpai perubahan pada hukum alam itu. Banyak juga ayat yang menjelaskan tentang perbuatan baik akan berakibat baik, perbuatan jahat akan berakhibat buruk. Dan jelas sekali, akibat-akibat itu tidak harus menunggu pada hari akhir nanti, tetapi akan terasa juga di dunia ini. Misalnya saja Allah berfirman, kerusakan/keburukan yang tejadi di dunia ini akibat dari perbuatan manusia itu sendiri.
“Bagi tiang keimanan atau penjaminan bahwa akan ada pengadilan yang sebenarnya bagi manusia-manusia yang tidak mendapat keadilan saat di dunia ini sangat penting. Sebab saat di dunia ini Allah memberi manusia kekuasaan untuk mengelolanya. Allah memberi manusia kebebasan. Faman syaa`a falyukmin waman syaa`a fal yakfur. Mau berbuat baik silahkan, mau berbuat buruk enke sila[1]. Balasan terhadap perbuatan baik atau buruk itu bisa dunia dan kalau terlewat di dunia, ya, di akhirat nanti. Jadi menurut hemat saya pemahaman Pak Chodjim berlebihan.
“Bagi saya, Mamiq, pemahaman seperti yang saya sampaikan tadi justru lebih masuk akal dan lebih pas dengan fakta-fakta kehidupan dunia yang terjadi. Bayangkan berapa banyak perbuatan buruk, kejahatan besar yang terjadi yang tidak mendapat hukuman di dunia ini? Lalu kapan mereka akan dihukum? Enak banget mereka tidak mendapat hukuman apapun. Nah bagi kelompok yang dirugikan akan merasa sakit sekali kalau tidak ada keyakinan, satu ketentuan final yang diyakini, akan adanya hari pengadilan yang sebenarnya. Tetapi bagi mereka yang memiliki keyakinan akan adanya hari pembalasan—yaum al-din—maka secara mental orang ini akan lebih sehat.” Ece nampak puas telah menyampaikan gagasannya dengan lancer.
“Saya setuju dengan pandanga ente, Ece. Tetapi kita anggap saja apa yang dikatakan Ahmad Chodidjun itu sebagai sebuah tawaran untuk kita berpikir lebih dalam. Buktinya, ente jadi memeras otak bagaimana memahami ayat ini, kan? Mungkin ada maksud lain beliau yang belum bisa kita pahami dari buku yang beliau tulis. Tetapi setidaknya ini memperkaya perspektif kita. Bahkan bagi yang memiliki pemahaman sebagaimana pemahaman umum ulama bahwa ayat ini bermakna ‘penguasa hari pembalasan atau saya lebih cocoknya penguasa hari pertanggunjawaban’ akan semakin kuat. Anggap saja pemikiran-pemikiran semacam pak Chodjim itu untuk saling mengasah. Dan kita tahu, semakin sering sesuatu diasah akan semakin tajam barang itu. Yang paling penting semoga keimanan kita bahwa setiap perbuatan kita akan menuai akibatnya, akan dimintai pertanggunganjawabnya, kalu tidak didunia ini ya di akhirat kelak. Itu yang utama.
“Ngomong-ngomong, baiknya kita duduk-duduk di sini, sambil menikmati hembusan sepoi angin dan kehangatan matahai pagi.”
Mamik Seni, Ece dan kawan-kawannya kemudian duduk melingkar. Pagi-pagi sampai jam 7 atu 8 memang terasa sangat nyaman di bekas landasan udara Selaparang ini. Hampir semua kenikmatan ada di sini. Ada pemandangan dataran tinggi di sebelah utara, gunugn rinjai yang cantik di sebelah timur dengan matahari yang muncul di antara dua celahnya. Ada juga cakrawala yang membentang di selatan dan barat. Sore hari adalah waktu yang tidak kalah indahnya. Sambil bermain bola kita bisa menikmati saat-saat matahari terbenam di ufuk barat.
Malam purnama juga merupakan saat-saat yang ditunggu. Orang-orang dari berbagai kampung sekitar lampangan ngumpul hanya sekedar ngerumpi, ngegosip atau senda gurau sambil menjalin persahabatan.
“Hidup sesungguhnya adalah sebuah pertanggungjawaban,” Mamik Seni membuka lagi pembicaraan dengan mengarahkannya kepada hal yang lebih substansial, yang terkait dengan prilaku. “Ketika seseorang memiliki pengetahuan maka ia bertanggungjawab atas pengetahuan yang dimiliki. Seorang yang memiliki keahlian, apapun bentuknya, juga memiliki pertanggungjawaban atas keahliannya. Kalau dia menyimpan sendiri pengetahuannya atau keterampilannya dan tidak mau berbagi kepada orang lain maka orang itu juga akan dimintai pertangujawab. Di dunia dia akan dicibir, tidak diperlakukan dengan hormat, kecuali pura-pura hormat. Di akhirat dia akan merana, merasa menderita. Dan tak ada yang dapat menolongnya.
Begitulah Mamiq selalu percaya bahwa setiap hal dalam ajaran agama ini terkait dengan prilaku. Kalu tidak maka itu pemahaman yang keliru. Setiap senti ayat itu harus dikaitkan dengan prilaku. Karena itulah alasannya turun ke bumi manusia.
“Bertanggungjawab sesungguhnya sebuah kemulian,” Mamiq Seni melanjutkan, “Sebuah kebaikan yang melahirkan kebaikan. Ketika kita mendengar seseorang yang dapat bertanggungjawab maka kita akan merasa aman. Setiap kita, meskipun bukan orang baik, sesungguhnya memahami benar makna sebuah pertanggungjawab. Bahwa seseorang dihargai karena ia menunjukkan diri bisa bertanggungjawab. Orang yang bertanggungjawab adalah mereka yang dapat diperaya.
“Para pemimpin besar adalah orang yang dapat bertanggungjawab. Ia menunjukkan kebesarannya dengan kemampuannya mempertanggungjawabkan setiap kebijakan yang diambil. “Lakukan itu, saya yang bertanggungjawab.” Kata-kata pemimpin yang demikian memberi rasa aman kepada bawahannya.
“Dunia modern adalah dunia yang menuntut pertanggungjawaban, Accountability! Institusi besar, semacam pemerintahan atau perusahaan besar atau kecil, akan diakui dunia jika ia bisa menunjukkan pertanggungjawaban atas setiap kebijakan atau produk yang dikeluarkan. Sebuah perusahaan mobil, misalnya, akan membuat konsumennya setia jika kesalahan mekanis pada sebuah produknya membuatnya menarik seluruh produk dari pasaran dan memberikan pertanggungjawaba dengan memberikan penggantian/perbaikan secara gratis atas kesalahan tersebut.
“Kebermakaan hidup akan terwujud jika seseorang menyadari bahwa setiap apapun dilakukan harus dapat dipertanggungjawabkan. Kebermaknaan adalah kebertanggungjawaban. Kehidupan ini akan bermakna dan membahagiakan ketika kita melakukan sesuatu dengan penuh tanggungjawab.
“Jazâ’—dalam bentuk reward atau punishment—adalah hukum alam, sunnatullah. Alam sungguh mengajarkan kita bahwa segala sesuatu ada konsekwensinya. Ketika kita memperlakukan alam dengan baik maka ia memberi manusia kenyamanan hidup, ketika kita memperlakukannya sewenang-wenang alampun menunjukkan ‘amarahnya’. Perubahan iklim yang ekstreem yang terjadi di hampir semua belahan bumi belakangan ini adalah bukti paling nyata bagaimana alam merespon sikap sewenang-wenang manusia dengan kebanggaan tehnologinya.
“Dalam pertanggungjawaban ada penghargaan bagi yang baik, dan ada hukuman bagi yang tidak baik. Itulah reward and punishment. Itu adalah hukum kehidupan. Jika Tuhan memberi ganjaran baik bagi kebaikan dan penderitaan bagi keburukan, itu bukan karena Tuhan sosok pshyco, seperti kata seorang ateis, tapi karena memang itu adalah bentuk dari pertanggungjawaban. ‘Suatu cara untuk membangun disiplin manusia,’ kata Ali Unal, seorang ulama dari Turki, dalam Tafsirnya. Bukankah negara-negara modern adalah negara yang membangun peradabannya yang sangat maju itu karena apa yang disebut pertanggungjawaban (accountability) dan karena disiplin dapat ditegakkan?
“Maka pintu keempat yang perlu kita lalui untuk dapat menikmati kehidupan di semesta ini adalah dengan memastikan bahwa kita dapat bertanggungjawab.”
Mamik Seni menutup tadarusan pagi ini dengan disaksikan matahari sepenggalan naik, pas di atas pucuk tertinggi Rinjani. Orang-orang juga sudah mulai bubar menuju rumah masing-masing sambil bertegur sapa.
Di pinggir utara area lapangan udara Selaparang ini ada anak sungai dengan airnya yang jernih mengalir. Di sana ada amak Cembun dan beberapa temannya yang sedang memandikan kudanya sebelum menggunakannya untuk menggerakkan cidomo. Kusir cidomo adalah satu-satunya prosfesi yang bisa ia lakukan untuk mencari nafkah sebagi wujud pertanggunjawabannya sebagai ayah dari tiga putrinya dan suami bagi istrinya tercinta.
Masjid Cut Meutia, Jakarta, 25 Ramadhan 1434/14 Agustus 2012, 03:07.


[1] Engke sila = monggo, silahkan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar