Penguasa hari pertanggungjawaban.
-- Terjemah
Maknawiyah, al-Fatihah/1:4
Kata Kuci: Penguasa,
pertanggungjawaban
“Ada baiknya
kita coba mengaji sambil jalan-jalan, kalau kalian setuju. Kita bisa dialog
sambil menikmati udara segar dan aroma pagi rerumputan Lanud Selaparang.
Bagaimana, setuju?”
“Setuju,
Mamik. Sekalian melihat matahari pagi muncul dari celah-celah gunung Rinjani.
Saya yakin ngajinyan makin asyik.”
Begitu
keluar dari pintu masjid At-Taubah, mereka langsung ke utara tanpa mampir dulu
di masjid al-Amin. Orang-orang berseliweran dan bertegur sapa satu sama lain.
“Sekarang
kita bahas ayat keempat: mâliki
yaumiddîn,” Mamik memulai tadarusan, sambil sesekali mengucap salam ketika
berpapasan dengan yang lain. “Ibnu Katsir menjelaskan, mâlik (mîm panjang) atau malik (mîm pendek) pada ayat ini berarti penguasa atau pemilik. Allah adalah
Penguasa Tunggal pada hari ketika setiap manusia dibangkitkan kembali dari
kematian. Tak seorangpun dapat berbicara, menyampaikan pembelaan dan lain-lain,
tanpa izin-Nya.
“Pada hari ketika ruh-ruh dan para malaikat bangkit dan berbaris. Tak
seorangpun dapat berbicara kecuali dengan perkenan Allah yang Penuh Kasih
(ar-rahmân) dan ia tak punya pilihan lain kecuali berbicara dengan benar” (al-Naba’/78: 38).
“Yaum al-din adalah hari perhitungan—hari
ketika semua orang diminta pertanggunjawaban
atas hidup yang dijalani selama di dunia. Hari ketika kebaikan dunia mendatangkan
kebahagiaan dan keburukan mengakibatkan kesengsaraan.
“Hari ini kami mengunci mulut mereka. Maka tangan-tangan mereka
bicara, kaki-kaki mereka bersaksi atas apa yang dulu mereka kerjakan” (Yasin [36]:
65)
“Kesombongan
adalah salah satu penyakit yang akan dipertanggungjawabkan. Rasulullah
menerangkan, pada hari itu ‘Allah menggenggam bumi dan menjulurkan langit
dengan tangan kanan-Nya sambil nerkata, ‘Akulah raja. Mana raja-raja bumi? Di
manakah para penindas dan mereka yang berlaku sombong itu?’”
“Maka, kata
Umar RA ‘Berhitunglah sebelum kalian dihitung. Timbanglah sendiri amal kalian
sebelum ditimbang. Bersiaplah untuk suatu pertujujukkan besar bagi yang tak
suatu apapun tersembunyi dari-Nya.’”
“Saya kok
merasa ngeri. Ini terasa lebih mengancam
ketimbang ajakan mengajak kepada kedamaian—ajakan cinta seperti yang kita
bicarakan kemarin,” Nakir mencoba menyampaikan kesannya.
“Kalau kita
membaca Quran,” jawab Mamiq Seni, “maka kita akan merasakan kalimat-kalimat
Quran itu memang terkesan hitam atau putih. Maksudnya kalau salah ya salah,
benar ya benar. Ketika berbicara kebaikan ia menggetarkan sehingga seseorang
akan merasa tidak punya pilihan kecuali melakukan kebaikan. Ketika berbicara
keburukan maka seseorang merasakan tidak punya pilihan lain kecuali
menjauhinyan. Kecuali kalau ente pada kagak ngerti, ya susah. Karena itulah
dalam banyak riwayat diceritakan, ketika membaca Quran--di dalam maupun di luar
salat—kadang Nabi membaca alhamdulilah kadang istigfar. Kandang ternseyum,
kadang menangis.
“Ya, seperti
Nakir tadi—ngeri ketika membaca ayat ancaman. Dan itu karena ente ngerti, kan,
Nakir? Coba kalau tidak mengerti, ndak
akan merasakan apa-apa.”
“Ada pandangan
yang tidak biasa, Mamik,” kata Ece menyela penjelasan. “Pak Ahmad Chodjim
menawarkan sebuah pemaknaan lain atas ayat keempat ini. Malik atau mâlik memang bisa dimaknai penguasa atau pemilik. Sementara yaum, menurut beliau, dalam ayat ini
lebih tepat dimaknai dengan alam. Sedangkan al-din lebis pas diartikan
kepatuhan ketimbang agama. Jadi ayat ini, menurut beliau, seharusnya dimaknai
dengan ‘raja atau penguasa alam kapatuhan.’ Bagaimana menurut Mamik?”
“Memang Pak
Chodjim, dalam bukunya tentang al-Fatihah itu, memberikan pemaknaan yang
berbeda terhadap ayat keempat al-Fatihah ini, seperti yang ente sebut tadi, Ece.
Salah satu keberatan beliau tentang pemaknaan yang ada terhadap ayat keempat
al-Fatihah ini adalah terkait funsinya ketika dimaknai sebagai hari pembalasan.
Apa fungsi pernyataan bahwa Allah penguasa hari pembalasan kalau memang semua
orang sudah beriman. Itu kan sama saja menggarami lautan.
“Lalu,
menurut beliau juga, menunggu saat hari pembalasan untuk mengadili tingkah laku
manusia terlalu lama. Ini malah bisa melemahkan keimanan. Bayangkan, bumi ini
umurnya sudah miliaran tahun, dan kita tidak tahu akan berapa milyar tahun lagi
umur bumi ini. Keadilan itu akan datang miliyaran tahun lagi—lama amat. Nah,
kalau kita memaknainya dengan ‘Penguasa alam kepatuhan’ dengan makna bahwa
semua telah Allah tentukan dengan ukuran-ukurannya, dengan aturan-aturan
mainnya, maka setiap perbuatan manusia akan mendapat akibatnya secara langsung
saat ini, saat hidup di dunia ini. Misalnya, ketika seseorang memakan sesuatu
secara berlebihan, misalnya terlalu banyak makan petai atau jengkol, dan itu akan
mengakibatkan reaksi kimia yang buruk kepada tubuh maka ketika orang makan
seacara berlebihan akan merasakan akibatnya saat itu juga.
“Dalam
konteks inilah pak Chodjim menyandingkan Alam Kepatuhan yang telah fix dengan
Alam Dunia (yaum al-dunya) dimana
manusia suka bersandiwara, akal-akalan dan lain-lain.
“Hal lain,
jika dikatakan Allah penguasa hari pembalasan, dan itu nanti, lah sekarang
Allah sedang tidak berkuasa, dong. Sementara kalau kita maknai Allah berkuasa
atas alam (bukan hari, lho) kepatuhan, maka itu berlaku dulu, saat ini dan
seterusnya. Ini lebih sesuai dengan sifat Allah, huwal awwalu wal aakhiru wa dzhahir wal bathin. Begitu yang saya
fahami tentang pikiran Pak Chodjim walaupun kata-katanya tidak persis seperti
itu.”
“Tapi, kan,
sebenarnya bisa aja kita perlakukan ayat itu sebagai pernyataan Allah khusus
untuk kondisi nanti di hari kiamat,” Ece memberi argumentasi. “Sementara untuk
masa di dunia kan sudah banyak sekali pernyataan Allah yang menerangkan itu.
Termasuk keterangan tentang Allah menentukan kadar atau aturan main tentang
kehidupan di dunia in dan bahwa setiap makhluk harus patuh atas ketentuan itu. Kita
banyak menemukannya pada ayat lain. Misalnya, Allah telah menentukan hukum alam
(sunatullah) dan tidak akan dijumpai perubahan pada hukum alam itu. Banyak juga
ayat yang menjelaskan tentang perbuatan baik akan berakibat baik, perbuatan
jahat akan berakhibat buruk. Dan jelas sekali, akibat-akibat itu tidak harus
menunggu pada hari akhir nanti, tetapi akan terasa juga di dunia ini. Misalnya
saja Allah berfirman, kerusakan/keburukan yang tejadi di dunia ini akibat dari
perbuatan manusia itu sendiri.
“Bagi tiang keimanan atau penjaminan bahwa
akan ada pengadilan yang sebenarnya bagi manusia-manusia yang tidak mendapat
keadilan saat di dunia ini sangat penting. Sebab saat di dunia ini Allah
memberi manusia kekuasaan untuk mengelolanya. Allah memberi manusia kebebasan. Faman syaa`a falyukmin waman syaa`a fal yakfur.
Mau berbuat baik silahkan, mau berbuat buruk enke sila[1].
Balasan terhadap perbuatan baik atau buruk itu bisa dunia dan kalau terlewat di
dunia, ya, di akhirat nanti. Jadi menurut hemat saya pemahaman Pak Chodjim
berlebihan.
“Bagi saya, Mamiq,
pemahaman seperti yang saya sampaikan tadi justru lebih masuk akal dan lebih
pas dengan fakta-fakta kehidupan dunia yang terjadi. Bayangkan berapa banyak
perbuatan buruk, kejahatan besar yang terjadi yang tidak mendapat hukuman di
dunia ini? Lalu kapan mereka akan dihukum? Enak banget mereka tidak mendapat
hukuman apapun. Nah bagi kelompok yang dirugikan akan merasa sakit sekali kalau
tidak ada keyakinan, satu ketentuan final yang diyakini, akan adanya hari
pengadilan yang sebenarnya. Tetapi bagi mereka yang memiliki keyakinan akan
adanya hari pembalasan—yaum al-din—maka secara mental orang ini akan lebih
sehat.” Ece nampak puas telah menyampaikan gagasannya dengan lancer.
“Saya setuju
dengan pandanga ente, Ece. Tetapi kita anggap saja apa yang dikatakan Ahmad
Chodidjun itu sebagai sebuah tawaran untuk kita berpikir lebih dalam. Buktinya,
ente jadi memeras otak bagaimana memahami ayat ini, kan? Mungkin ada maksud lain beliau yang belum bisa kita pahami
dari buku yang beliau tulis. Tetapi setidaknya ini memperkaya perspektif kita. Bahkan
bagi yang memiliki pemahaman sebagaimana pemahaman umum ulama bahwa ayat ini
bermakna ‘penguasa hari pembalasan atau saya lebih cocoknya penguasa hari
pertanggunjawaban’ akan semakin kuat. Anggap saja pemikiran-pemikiran semacam pak
Chodjim itu untuk saling mengasah. Dan kita tahu, semakin sering sesuatu diasah
akan semakin tajam barang itu. Yang paling penting semoga keimanan kita bahwa
setiap perbuatan kita akan menuai akibatnya, akan dimintai
pertanggunganjawabnya, kalu tidak didunia ini ya di akhirat kelak. Itu yang
utama.
“Ngomong-ngomong,
baiknya kita duduk-duduk di sini, sambil menikmati hembusan sepoi angin dan
kehangatan matahai pagi.”
Mamik Seni,
Ece dan kawan-kawannya kemudian duduk melingkar. Pagi-pagi sampai jam 7 atu 8
memang terasa sangat nyaman di bekas landasan udara Selaparang ini. Hampir
semua kenikmatan ada di sini. Ada pemandangan dataran tinggi di sebelah utara,
gunugn rinjai yang cantik di sebelah timur dengan matahari yang muncul di
antara dua celahnya. Ada juga cakrawala yang membentang di selatan dan barat.
Sore hari adalah waktu yang tidak kalah indahnya. Sambil bermain bola kita bisa
menikmati saat-saat matahari terbenam di ufuk barat.
Malam purnama
juga merupakan saat-saat yang ditunggu. Orang-orang dari berbagai kampung
sekitar lampangan ngumpul hanya sekedar ngerumpi, ngegosip atau senda gurau
sambil menjalin persahabatan.
“Hidup
sesungguhnya adalah sebuah pertanggungjawaban,” Mamik Seni membuka lagi
pembicaraan dengan mengarahkannya kepada hal yang lebih substansial, yang
terkait dengan prilaku. “Ketika seseorang memiliki pengetahuan maka ia
bertanggungjawab atas pengetahuan yang dimiliki. Seorang yang memiliki
keahlian, apapun bentuknya, juga memiliki pertanggungjawaban atas keahliannya.
Kalau dia menyimpan sendiri pengetahuannya atau keterampilannya dan tidak mau
berbagi kepada orang lain maka orang itu juga akan dimintai pertangujawab. Di
dunia dia akan dicibir, tidak diperlakukan dengan hormat, kecuali pura-pura
hormat. Di akhirat dia akan merana, merasa menderita. Dan tak ada yang dapat
menolongnya.
Begitulah
Mamiq selalu percaya bahwa setiap hal dalam ajaran agama ini terkait dengan
prilaku. Kalu tidak maka itu pemahaman yang keliru. Setiap senti ayat itu harus
dikaitkan dengan prilaku. Karena itulah alasannya turun ke bumi manusia.
“Bertanggungjawab
sesungguhnya sebuah kemulian,” Mamiq Seni melanjutkan, “Sebuah kebaikan yang
melahirkan kebaikan. Ketika kita mendengar seseorang yang dapat bertanggungjawab
maka kita akan merasa aman. Setiap kita, meskipun bukan orang baik,
sesungguhnya memahami benar makna sebuah pertanggungjawab. Bahwa seseorang dihargai
karena ia menunjukkan diri bisa bertanggungjawab. Orang yang bertanggungjawab
adalah mereka yang dapat diperaya.
“Para
pemimpin besar adalah orang yang dapat bertanggungjawab. Ia menunjukkan kebesarannya
dengan kemampuannya mempertanggungjawabkan setiap kebijakan yang diambil. “Lakukan itu, saya yang bertanggungjawab.”
Kata-kata pemimpin yang demikian memberi rasa aman kepada bawahannya.
“Dunia
modern adalah dunia yang menuntut pertanggungjawaban, Accountability! Institusi besar, semacam pemerintahan atau
perusahaan besar atau kecil, akan diakui dunia jika ia bisa menunjukkan
pertanggungjawaban atas setiap kebijakan atau produk yang dikeluarkan. Sebuah
perusahaan mobil, misalnya, akan membuat konsumennya setia jika kesalahan
mekanis pada sebuah produknya membuatnya menarik seluruh produk dari pasaran
dan memberikan pertanggungjawaba dengan memberikan penggantian/perbaikan secara
gratis atas kesalahan tersebut.
“Kebermakaan
hidup akan terwujud jika seseorang menyadari bahwa setiap apapun dilakukan
harus dapat dipertanggungjawabkan. Kebermaknaan adalah kebertanggungjawaban.
Kehidupan ini akan bermakna dan membahagiakan ketika kita melakukan sesuatu
dengan penuh tanggungjawab.
“Jazâ’—dalam
bentuk reward atau punishment—adalah hukum alam, sunnatullah. Alam sungguh mengajarkan
kita bahwa segala sesuatu ada konsekwensinya. Ketika kita memperlakukan alam
dengan baik maka ia memberi manusia kenyamanan hidup, ketika kita
memperlakukannya sewenang-wenang alampun menunjukkan ‘amarahnya’. Perubahan
iklim yang ekstreem yang terjadi di hampir semua belahan bumi belakangan ini adalah
bukti paling nyata bagaimana alam merespon sikap sewenang-wenang manusia dengan
kebanggaan tehnologinya.
“Dalam
pertanggungjawaban ada penghargaan bagi yang baik, dan ada hukuman bagi yang
tidak baik. Itulah reward and punishment.
Itu adalah hukum kehidupan. Jika Tuhan memberi ganjaran baik bagi kebaikan dan
penderitaan bagi keburukan, itu bukan karena Tuhan sosok pshyco, seperti kata
seorang ateis, tapi karena memang itu adalah bentuk dari pertanggungjawaban. ‘Suatu
cara untuk membangun disiplin manusia,’ kata Ali Unal, seorang ulama dari
Turki, dalam Tafsirnya. Bukankah negara-negara modern adalah negara yang membangun
peradabannya yang sangat maju itu karena apa yang disebut pertanggungjawaban (accountability) dan karena disiplin
dapat ditegakkan?
“Maka pintu
keempat yang perlu kita lalui untuk dapat menikmati kehidupan di semesta ini
adalah dengan memastikan bahwa kita dapat bertanggungjawab.”
Mamik Seni
menutup tadarusan pagi ini dengan disaksikan matahari sepenggalan naik, pas di
atas pucuk tertinggi Rinjani. Orang-orang juga sudah mulai bubar menuju rumah
masing-masing sambil bertegur sapa.
Di pinggir
utara area lapangan udara Selaparang ini ada anak sungai dengan airnya yang
jernih mengalir. Di sana ada amak Cembun dan beberapa temannya yang sedang
memandikan kudanya sebelum menggunakannya untuk menggerakkan cidomo. Kusir
cidomo adalah satu-satunya prosfesi yang bisa ia lakukan untuk mencari nafkah
sebagi wujud pertanggunjawabannya sebagai ayah dari tiga putrinya dan suami
bagi istrinya tercinta.
Masjid Cut Meutia, Jakarta, 25 Ramadhan 1434/14
Agustus 2012, 03:07.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar