Kamis, 23 Agustus 2012

Menyayangi dan Mencintai Sepenuhnya (Pintu Ketiga)


Yang Maha Menyayangi jagat raya dan seisinya
Yang Maha Mencintai para penempuh jalan kebenaran

--- Terjemah maknawiyah, al-Fatihah (1): 3

Kata Kunci: Menyayangi, mencintai, sepenuhnya.

“Pada pertemuan pertama lalu kita sedikit menyinggung pesan di balik penyebutan nama Allah Rahmân dan Rahîm dalam kaitannya dengan basmallah. Hari ini kita akan coba membahasnya sedikit lebih khusus dan mendalam. Insya-allah, semoga dapat terwujud.” Mamik Seni memulai tadarusan pagi ini.
Pagi ini terasa lebih segar dan damai dari sebelumnya. Suara burung-burung kecial[1], blincek[2] dan tokek sahut-menyahut. Mereka mungkin merasakan aura yang berbeda dari sebelumnya. Mungkin para anggota paguyuban tadarusan al-Amin diam-diam sudah menaruh rasa sayang mereka kepada binatang-binatang itu. Kesadaran tentang persaudaran sesama makhluk hidup sejak kemarin pagi bisa jadi mulai memenuhi saraf-saraf dan aliran darah mereka. Tikar dan lantai masjid pun terasa lebih nyaman pagi ini.
“Terutama kaitannya dengan kehidupan sehari-hari, Mamik. Saya selalu bertanya-tanya mengapa Rahmân dan Rahîm ini menjadi nama Allah yang dimasukkan dalam basmalla yang harus disebut pada awal setiap melakukan aktifitas. Mengapa pula dua kata ini tersebut masing-masing dua kali dalam satu surat yang pendek ini?” Amang menjelaskan poin-poin yang mengganggu pikirannya sejauh ini.
“Benar, itu yang akan kita coba pelajari bersama. Ar-Rahmân dan al-Rahîm terambil dari kata yang sama, yaitu rahmah,  yang dalam bahasa Indonesia dapat kita terjemahkan dengan kasih-sayang atau cinta. Keduanya dalam bentuk mubâlaghah, superlative—menunjukkan suatu kondisi yang sangat, tetapi ar-Rahmân lebih luas cakupannya ketimbang ar-Rahîm. Ketika menerangkan Allah ‘menaiki singgasana-Nya’, Quran menggunakan kata al-Rahmân (lihat al-Furqan [25]: 59; dan Thaha [20]: 5). Menurut Ibnu Katsir hal ini untuk menegaskan bahwa rahmah (kasih sayang) Allah meliputi seluruh makhluk, tanpa pandang bulu. Maka semua jenis makhluk—manusia, binatang, tumbuhan, bebatuan, udara, api; muslim atau bukan, kaya, miskin, hitam, putih, coklat, kuning—semua mendapat karunia-Nya di dunia ini.
“Ketika Allah bertanya dalam alam rahim, sebelum kelahiran seseorang, ‘alastu birabbikum? Bukankah Aku Tuhanmu?’ lalu si calon manusia menjawa ‘balâ syahidnâ, benar, kami bersaksi Engkau Tuhanku’—ini adalah proses yang dialami oleh siapa saja baik orang timur, barat, utara, selatan, arab, india, cina, papua dan lain-lain. Maka sesungguhnya setiap orang, dari ras dan bangsa manupun, memiliki naluri ketuhanan. Ini juga berarti pada setiap orang terdapat ruang kesucian dalam dirinya, dan itu tidak akan pernah hilang. Ia mungkin suata saat tak nampak, tapi itu lebih karena tersembunyi, mahjub, entak karena ego pengingkaran atau kebodohanbukan tidak ada.
”’Timur dan Barat adalah kepunyaan Allah. Kemana saja kamu menghadap disana ada manifestasi (wajah) Allah. Allah maha luas menjangkau semua, maha menngetahui segala hal.” (al-Baqarah [2]: 115)
“Kalau begitu, pernyataan yang sering kita dengar bahwa orang Timur berbeda dengan orang Barat secara naluri atau fitrah bisa jadi salah, Mamik,” kata Nakir memberi pandangan. “Tatanan nilai disebut berbeda,  bahwa Barat itu cenderung materialistik sementara Timur cenderung mbathin—saya pikir kurang tepat. Memang  pada permukaan terjadi pendedaan tetapi andai kita merujuk ayat prenatal tadi maka secara substansial sesungguhnya tidak ada perbedaan. Sama dengan sabda Nabi SAW, kullu maulûdin yûladu alal fitrah. Setiap manusia terlahir suci. Ini sama saja dengan manusia yang terdiri dari dua komponen utama: jasad dan rohani. Dan bahwa terjadinya perbedaan lebih pada tampilan luar, seolah-olah yang satu lebih materialistik sementera yang yang lebih spiritual.”
Mamik Seni diam sejenak. Ia menarik nafas sambil menggerakkan badannya agak ke belakang. “Ini barangkali lebih karena kesan yang selama ini dibangun. Saya setuju bahwa tak ada beda antara manusia Barat dan Timur. Mereka memiliki kerinduan yang sama terhadap hal-hal yang spiritual, terhadap hal-hal yang ilahiyah. Kalau mau jujur, pemberontakan-pemberontakan intelektual yang terjadi lebih bersifat pertanyaan-pertanyaan yang mewujud dari kerinduan intelektual yang tidak terjawab. Karena itu alasan seseorang masuk Islam kita dapatkan seringkali karena pertanyaan-pertanyaan intelektual mereka terjawab. Dan kita ketahui bahwa hal-hal yang intelektual itu sesungguhnya sangat terkait dengan yang transendental, yang ilahiyah, bukan melulu soal material, yang nampak secara lahir. Maka kita dapat mengatakan pada akhirnya ujung dari pencarian itu sesungguhnya sama, yaitu kepuasan bathin. Hanya saja yang satu melalui saluran intelektual-material sementara yang lain lebih spiritual-rasa.”
“Baiklah, kita tidak perlu terlalu jauh,” Mamik mengajak kembali ke issu utama. “Mari kembali kepada rahman dan rahim: Allah memerintahkan, setelah menggunakan nama Allah, Diri-Nya dipanggil al-Rahmân (Yang Maha Mencintai) setelah Allah, baru dengan nama-nama yang lain. Ini agaknya menekankan betapa sifat rahmân, cintah-kasih yang meliputi seluruh makhluk, sebagai sifat utama yang harus kita miliki.
“’Katakan, panggil Dia Allah, atau ar-Rahmân! Apa saja nama yang kamu pakai untuk memanggil-Nya, panggillah dengan nama-nama yang indah: Dia memiliki nama-nama yang indah” (al-Isrâ’, 17:100).
“Sebaliknya, ar-Rahîm (Yang Maha Menyayangi)—seperti yang pernah kita bahas—merujuk kepada kekhususan kasih sayang Allah kepada mereka yang menerima dan tunduk kepada kebenaran risalah-Nya. Jika ar-Rahmân adalah kasih-sayang Allah kepada semua makhluk di dunia ini, maka ar-Rahîm  adalah kasih sayang Allah khusus untuk mereka yang tunduk pada firman-Nya, saat ini maupun di akhirat kelak. ‘Inilah pendapat sebagian besar ulama,’ kata Syeikh Muhammad al Amin as-Syinqithy dalam Adhwâ’ al Bayân fî Îdhâh al Qur`ân bil Qur`ân.”
“Lalu apa yang bisa kita tadabburi dari ayat ke, Mamik?”

“Allah adalah simpul semua jenis kebaikan, setidaknya yang tergambar dalam al-asmâ’ al-husnâ (nama-nama yang indah),” Mamik Seni memulai tadaburan. “Diantara 99 nama-Nya (sebagian mengatakan a-asmâ al-husnâ tak terbatas), kita tahu ada dua yang diungkap dalam ayat pertama al-Fatihah ini: al-Rahmân dan al-Rahîm. Jadi nama Allah yang pertama kali disebut adalah yang terkait dengan sifat Allah yang Maha Mencintai, Mengasihi dan Menyangi. Ini tentu sebuah isyarat tentang keutamaan sifat ini.
“Mulailah segala sesuatu atas dasar kasih-sayang yang tulus. Inilah inti ikhlas yang menjadi penakar tauhid kepada Allah. Apapun yang kita lakukan, tanpa motivasi ini, maka ia tak bermakna. Mungkin saja ada menfaatnya tetapi itu hanya sementara, hanya fatamorgana. Tidak akan abadi. Sebab keikhlasanlah yang membuat sesuatu abadi. Kasih sayanglah yang menyebabkan Anda membuana dengan kekuatan penuh. Karya-karya yang lahir dari kecintaan adalah yang lahir dari hasrat sejati, yang menghasilkan karya abadi dan dikenang sepanjang masa.

“Perhatikan saja pengalama hidup kita masing-masing. Ada karya kita yang baik bahkan sangat baik sehingga kita merasa puas dan gembira mengenangnya; tetapi ada juga yang tidak baik yang jangankan mengenangnya mengingatnya saja kita tak mau. Kita akan merasa tidak nyaman bila melihatnya. Kita bahkan tidak ingin dihubung-hubungkan dengan karya atau perbuatan itu. Karya yang memuaskan itu biasanya kita kerjakan dengan senang hati, dengan cinta. Kita kerjakan dengan keikhlasan yang tinggi—seluruh diri kita terlibat dalam mengerjakannya. Karena itu lahirlah karya yang seperti senyum seseorang yang mendamaikan, selalu membuat bahagia. Tetapi karya yang membuat tidak nyaman itu biasanya karena kita kerjakan dengan asal-asalan, tidak dengan keseluruhan jiwa.

“Maka, rahmat, kasih sayang atau cinta itu adalah kunci dan isinya sekaligus. Allah adalah rahmah itu sendiri, cinta itu sendiri. Pecinta, ar-Rahman, adalah nama pertama yang Dia pilih untuk diri-Nya setelah nama Allah. Kataba ala nafsihil rahmah. Dia telah bersumpah untuk memanggul cinta. Rahmatiy wasi`at kulla syai’, CintaKu meliputi segala sesuatu, tanpa batas, tanpa pilih kasih. Maka sewajarnya kita memilih jalan ini dalam bekerja dan menjalani hidup ini.”

“Saya melihat, ada hubungan antara ayat ini yang menekankan rahmat, kasih sayang, dengan ayat sebelumnya yang menegaskan Allah yang Maha Terpuji karena menjadi pemelihara, pengasuh, pengayom alam semensta. Ini terlihat dari sisi bahasa dimana ayat ketiga sebagai man`ut—yang menunjukkan bahwa ia tekair dengan ayat kedua. Allah Maha Terpuji karena Dia telah menciptakan, menjaga alam semesta dengan cinta dan kasih-sayang dan ketulusan yang tak terhingga,” Nakir memberi pandangan.

Suasana pagi semakin sejuk meski matahari telah merankak naik. Sepertinya derai-derai kasih sayang telah menyusupi lubuh hati terdalam Mamik Seni, Him dan kawan-kawannya.

“Nakir, ente sudah bisa menangkap benang merahnya dengan baik,” Mamik memberi penghargaan. “Dengan kata lain, cinta dan kasih sayanglah yang menjadi alasan kehadiran manusia dan alam semesta ini. Maka kita harus berusaha semaksimal mungkin menjadi pemangku kasih sayang juga. Ini memang tidak mudah, akan banyak kesulitan, akan banyak rintang. Ini tidak semudah seperti kita berbicara saat ini. Tetapi setidaknya dengan memiliki kesadaran ini, kita akan cepat kembali ke jalur yang benar jika suatu saat keluar dari rel rahmat. Sekali misi ilahiyah yang suci ini ternodai, saat itu berarti kita telah bertindak melampaui kodrat ilahiyah kita. Dan itu juga berarti kekufuran, penolakan atas tugas keilahiahan ini.”

Blincek, cecak dan burung kecial sudan meninggalkan arena bermainnya. Mamik Senipun menutup tadarusan dengan doa.

Atas namaMu, wahai yang Menyayangi dan Mencintai dengan sepenuhnya, aku lakukan semua ini.
Karena Engkau menganugrahi alam semesata ini atas dasar cinta dan kasih sayang, maka ajari aku melakukan semuanya atas dasar cinta dan kasih sayang juga.
Bantulah hamba, Tuhan. Karena hanya dengan rahmat-kasih-sayanglah kebaikan akan selalu ada.

Masjid Al-Azhar - Masjid Sunda Kelapa, Jakarta 23-24 Ramadhan 1433/12-13 Agustus 2012



[1] Kecial = burung gereja
[2] Blincek = cecak

Tidak ada komentar:

Posting Komentar