Yang
Maha Menyayangi jagat
raya dan seisinya
Yang
Maha Mencintai para
penempuh jalan kebenaran
---
Terjemah maknawiyah, al-Fatihah (1): 3
Kata Kunci: Menyayangi,
mencintai, sepenuhnya.
“Pada
pertemuan pertama lalu kita sedikit menyinggung pesan di balik penyebutan nama
Allah Rahmân dan Rahîm dalam kaitannya
dengan basmallah. Hari ini kita akan coba membahasnya sedikit lebih khusus dan mendalam.
Insya-allah, semoga dapat terwujud.” Mamik Seni memulai tadarusan pagi ini.
Pagi ini
terasa lebih segar dan damai dari sebelumnya. Suara burung-burung kecial[1],
blincek[2]
dan tokek sahut-menyahut. Mereka mungkin merasakan aura yang berbeda dari
sebelumnya. Mungkin para anggota paguyuban tadarusan al-Amin diam-diam sudah
menaruh rasa sayang mereka kepada binatang-binatang itu. Kesadaran tentang
persaudaran sesama makhluk hidup sejak kemarin pagi bisa jadi mulai memenuhi
saraf-saraf dan aliran darah mereka. Tikar dan lantai masjid pun terasa lebih
nyaman pagi ini.
“Terutama kaitannya
dengan kehidupan sehari-hari, Mamik. Saya selalu bertanya-tanya mengapa Rahmân dan Rahîm ini menjadi
nama Allah yang dimasukkan dalam basmalla yang harus disebut pada awal setiap
melakukan aktifitas. Mengapa pula dua kata ini tersebut masing-masing dua kali
dalam satu surat yang pendek ini?” Amang menjelaskan poin-poin yang mengganggu
pikirannya sejauh ini.
“Benar, itu
yang akan kita coba pelajari bersama. Ar-Rahmân
dan al-Rahîm terambil dari kata yang
sama, yaitu rahmah, yang dalam bahasa Indonesia dapat kita
terjemahkan dengan kasih-sayang atau cinta.
Keduanya dalam bentuk mubâlaghah, superlative—menunjukkan suatu kondisi
yang sangat, tetapi ar-Rahmân lebih
luas cakupannya ketimbang ar-Rahîm. Ketika
menerangkan Allah ‘menaiki singgasana-Nya’, Quran menggunakan kata al-Rahmân (lihat al-Furqan [25]: 59; dan
Thaha [20]: 5). Menurut Ibnu Katsir hal ini untuk menegaskan bahwa rahmah (kasih sayang) Allah meliputi seluruh
makhluk, tanpa pandang bulu. Maka semua jenis makhluk—manusia, binatang,
tumbuhan, bebatuan, udara, api; muslim atau bukan, kaya, miskin, hitam, putih,
coklat, kuning—semua mendapat karunia-Nya di dunia ini.
“Ketika
Allah bertanya dalam alam rahim, sebelum kelahiran seseorang, ‘alastu birabbikum? Bukankah Aku
Tuhanmu?’ lalu si calon manusia menjawa ‘balâ
syahidnâ, benar, kami bersaksi Engkau Tuhanku’—ini adalah proses yang
dialami oleh siapa saja baik orang timur, barat, utara, selatan, arab, india,
cina, papua dan lain-lain. Maka sesungguhnya setiap orang, dari ras dan bangsa
manupun, memiliki naluri ketuhanan. Ini juga berarti pada setiap orang terdapat
ruang kesucian dalam dirinya, dan itu tidak akan pernah hilang. Ia mungkin
suata saat tak nampak, tapi itu lebih karena tersembunyi, mahjub, entak karena ego pengingkaran atau kebodohan—bukan tidak ada.
”’Timur dan Barat adalah kepunyaan Allah. Kemana saja kamu menghadap
disana ada manifestasi (wajah) Allah. Allah maha luas menjangkau semua, maha
menngetahui segala hal.” (al-Baqarah [2]: 115)
“Kalau
begitu, pernyataan yang sering kita dengar bahwa orang Timur berbeda dengan
orang Barat secara naluri atau fitrah bisa jadi salah, Mamik,” kata Nakir
memberi pandangan. “Tatanan nilai disebut berbeda, bahwa Barat itu cenderung materialistik
sementara Timur cenderung mbathin—saya
pikir kurang tepat. Memang pada
permukaan terjadi pendedaan tetapi andai kita merujuk ayat prenatal tadi maka
secara substansial sesungguhnya tidak ada perbedaan. Sama dengan sabda Nabi
SAW, kullu maulûdin yûladu alal fitrah. Setiap manusia terlahir suci. Ini sama saja dengan manusia yang
terdiri dari dua komponen utama: jasad dan rohani. Dan bahwa terjadinya
perbedaan lebih pada tampilan luar, seolah-olah yang satu lebih materialistik
sementera yang yang lebih spiritual.”
Mamik Seni
diam sejenak. Ia menarik nafas sambil menggerakkan badannya agak ke belakang. “Ini
barangkali lebih karena kesan yang selama ini dibangun. Saya setuju bahwa tak
ada beda antara manusia Barat dan Timur. Mereka memiliki kerinduan yang sama
terhadap hal-hal yang spiritual, terhadap hal-hal yang ilahiyah. Kalau mau
jujur, pemberontakan-pemberontakan intelektual yang terjadi lebih bersifat
pertanyaan-pertanyaan yang mewujud dari kerinduan intelektual yang tidak terjawab.
Karena itu alasan seseorang masuk Islam kita dapatkan seringkali karena
pertanyaan-pertanyaan intelektual mereka terjawab. Dan kita ketahui bahwa
hal-hal yang intelektual itu sesungguhnya sangat terkait dengan yang transendental,
yang ilahiyah, bukan melulu soal material, yang nampak secara lahir. Maka kita
dapat mengatakan pada akhirnya ujung dari pencarian itu sesungguhnya sama,
yaitu kepuasan bathin. Hanya saja yang satu melalui saluran intelektual-material
sementara yang lain lebih spiritual-rasa.”
“Baiklah,
kita tidak perlu terlalu jauh,” Mamik mengajak kembali ke issu utama. “Mari
kembali kepada rahman dan rahim: Allah memerintahkan, setelah menggunakan nama
Allah, Diri-Nya dipanggil al-Rahmân
(Yang Maha Mencintai) setelah Allah, baru dengan nama-nama yang lain. Ini
agaknya menekankan betapa sifat rahmân,
cintah-kasih yang meliputi seluruh makhluk, sebagai sifat utama yang harus kita
miliki.
“’Katakan,
panggil Dia Allah, atau ar-Rahmân! Apa
saja nama yang kamu pakai untuk memanggil-Nya, panggillah dengan nama-nama
yang indah: Dia memiliki nama-nama yang
indah” (al-Isrâ’, 17:100).
“Sebaliknya,
ar-Rahîm (Yang Maha Menyayangi)—seperti
yang pernah kita bahas—merujuk kepada kekhususan kasih sayang Allah kepada
mereka yang menerima dan tunduk kepada kebenaran risalah-Nya. Jika ar-Rahmân adalah kasih-sayang Allah
kepada semua makhluk di dunia ini, maka ar-Rahîm adalah kasih sayang Allah khusus untuk
mereka yang tunduk pada firman-Nya, saat ini maupun di akhirat kelak. ‘Inilah
pendapat sebagian besar ulama,’ kata Syeikh Muhammad al Amin as-Syinqithy dalam
Adhwâ’ al Bayân fî Îdhâh al Qur`ân bil
Qur`ân.”
“Lalu apa yang bisa kita tadabburi dari ayat
ke, Mamik?”
“Allah
adalah simpul semua jenis kebaikan, setidaknya yang tergambar dalam al-asmâ’ al-husnâ (nama-nama yang indah),”
Mamik Seni memulai tadaburan. “Diantara 99 nama-Nya (sebagian mengatakan a-asmâ al-husnâ tak terbatas), kita tahu
ada dua yang diungkap dalam ayat pertama al-Fatihah ini: al-Rahmân dan al-Rahîm.
Jadi nama Allah yang pertama kali disebut adalah yang terkait dengan sifat
Allah yang Maha Mencintai, Mengasihi dan Menyangi. Ini tentu sebuah isyarat
tentang keutamaan sifat ini.
“Mulailah segala sesuatu atas dasar kasih-sayang
yang tulus. Inilah inti ikhlas yang menjadi penakar tauhid kepada Allah. Apapun
yang kita lakukan, tanpa motivasi ini, maka ia tak bermakna. Mungkin saja ada
menfaatnya tetapi itu hanya sementara, hanya fatamorgana. Tidak akan abadi.
Sebab keikhlasanlah yang membuat sesuatu abadi. Kasih sayanglah yang
menyebabkan Anda membuana dengan kekuatan penuh. Karya-karya yang lahir dari
kecintaan adalah yang lahir dari hasrat sejati, yang menghasilkan karya abadi
dan dikenang sepanjang masa.
“Perhatikan saja pengalama hidup kita
masing-masing. Ada karya kita yang baik bahkan sangat baik sehingga kita merasa
puas dan gembira mengenangnya; tetapi ada juga yang tidak baik yang jangankan
mengenangnya mengingatnya saja kita tak mau. Kita akan merasa tidak nyaman bila
melihatnya. Kita bahkan tidak ingin dihubung-hubungkan dengan karya atau
perbuatan itu. Karya yang memuaskan itu biasanya kita kerjakan dengan senang
hati, dengan cinta. Kita kerjakan dengan keikhlasan yang tinggi—seluruh diri
kita terlibat dalam mengerjakannya. Karena itu lahirlah karya yang seperti
senyum seseorang yang mendamaikan, selalu membuat bahagia. Tetapi karya yang
membuat tidak nyaman itu biasanya karena kita kerjakan dengan asal-asalan,
tidak dengan keseluruhan jiwa.
“Maka, rahmat, kasih sayang atau cinta itu adalah
kunci dan isinya sekaligus. Allah adalah rahmah
itu sendiri, cinta itu sendiri. Pecinta, ar-Rahman, adalah nama pertama yang
Dia pilih untuk diri-Nya setelah nama Allah. Kataba ala nafsihil rahmah. Dia telah bersumpah untuk memanggul
cinta. Rahmatiy wasi`at kulla syai’, CintaKu
meliputi segala sesuatu, tanpa batas, tanpa pilih kasih. Maka sewajarnya kita
memilih jalan ini dalam bekerja dan menjalani hidup ini.”
“Saya melihat, ada hubungan antara ayat ini
yang menekankan rahmat, kasih sayang, dengan ayat sebelumnya yang menegaskan
Allah yang Maha Terpuji karena menjadi pemelihara, pengasuh, pengayom alam
semensta. Ini terlihat dari sisi bahasa dimana ayat ketiga sebagai man`ut—yang menunjukkan bahwa ia tekair
dengan ayat kedua. Allah Maha Terpuji karena Dia telah menciptakan, menjaga
alam semesta dengan cinta dan kasih-sayang dan ketulusan yang tak terhingga,”
Nakir memberi pandangan.
Suasana pagi semakin sejuk meski matahari
telah merankak naik. Sepertinya derai-derai kasih sayang telah menyusupi lubuh
hati terdalam Mamik Seni, Him dan kawan-kawannya.
“Nakir, ente sudah bisa menangkap benang
merahnya dengan baik,” Mamik memberi penghargaan. “Dengan kata lain, cinta dan
kasih sayanglah yang menjadi alasan kehadiran manusia dan alam semesta ini. Maka
kita harus berusaha semaksimal mungkin menjadi pemangku kasih sayang juga. Ini
memang tidak mudah, akan banyak kesulitan, akan banyak rintang. Ini tidak
semudah seperti kita berbicara saat ini. Tetapi setidaknya dengan memiliki
kesadaran ini, kita akan cepat kembali ke jalur yang benar jika suatu saat
keluar dari rel rahmat. Sekali misi ilahiyah yang suci ini ternodai, saat itu
berarti kita telah bertindak melampaui kodrat ilahiyah kita. Dan itu juga berarti
kekufuran, penolakan atas tugas keilahiahan ini.”
Blincek, cecak dan burung kecial sudan meninggalkan
arena bermainnya. Mamik Senipun menutup tadarusan dengan doa.
Atas namaMu, wahai yang Menyayangi dan
Mencintai dengan sepenuhnya, aku lakukan semua ini.
Karena Engkau menganugrahi alam semesata ini
atas dasar cinta dan kasih sayang, maka ajari aku melakukan semuanya atas dasar
cinta dan kasih sayang juga.
Bantulah hamba, Tuhan. Karena hanya dengan
rahmat-kasih-sayanglah kebaikan akan selalu ada.
Masjid Al-Azhar - Masjid Sunda Kelapa, Jakarta 23-24 Ramadhan
1433/12-13 Agustus 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar