Minggu, 26 Agustus 2012

Setia pada Kebenaran (Pintu Keenam)


Tuhan, bentangkan di hadapan kami jalan lurus, jalan kebenaran.
--Terjemah Maknawiyah, al-Fatihah/1: 6

Kata Kunci: petunjuk, jalan yang benar.
Bila kemarin grimis, pagi ini benar-benar cerah. Fajar menyibak angkasa timur, membuka jalan bagi terbitnya matahari. Biasanya, sebentar lagi Rinjani benar-benar menampakkan keindahannya yang sempurna. Langit biru jernih menjelma menjadi kanvas. Malaikat keindahan menggoreskan kuwasnya melukis awan-awan yang menggantung di atas Rinjani. Maka sebuah keindahan yang bertasbih memancar memenuhi cakrawala.
Mamiq Seni tidak mau kehilangan momen ini. Juga jamaah yang lain. Maka sekali lagi dia mengajak tadarusan sambil berjalan-jalan, di atas bekas landasan, menyusuri garis lurus yang berada tepat di tengahnya.
Mamik Seni tekesan dengan kosntruski landasan ini, dan melihatnya dalam perpektif ayat keenam surat al-Fatihah ini menjadi menakjubkan. Garis lurus di tengahnya dibuat untuk memandu pesawat agar tetap berada pada track yang benar. Di pingirnya ada lampu-lampu sepanjang keempat sisi luar untuk memberitahu pilot batas-batas aman. Sekali mereka melewati batas itu bahaya mengancam—tergelincir.
“’Allah mengumpamakan jalan yang benar itu seperti sebuah jalan yang lurus,’ sabda Nabi,” Mamiq Seni memulai tadarusan. “Mungkin seperti garis lurus yang sedang kita tapaki ini. ‘Pada kedua tepian jalan itu,’ lanjut Nabi, ‘ada tembok dengan pintu-pintu terbuka. Pada pintu-pintu itu ada tabir yang terurai. Tepat di atas gerbang jalan lurus itu ada penyeru yang berkata: ‘Wahai manusia, masuklah kalian semua ke dalam jalan yang lurus itu dan janganlah melenceng.’ Sepanjang jalan lurus itu ada penyeru di atasnya. Ketika ada yang akan membuka pintu yang berjejer pada dinding di kedua sisinya itu ia berkata, ‘Awas! Jangan buka pintu itu. Jika kalian buka kalian akan terperosok ke dalam.’”
“Rasulullah lalu menjelaskan bahwa jalan yang lurus itu adalah Islam, kedua dinding itu adalah batas-batasan Allah. Pintu-pintu yang berderet terbuka itu adalah segala hal yang diharamkan Allah. Penyeru yang berada di atas pintu gerbang itu adalah Kitabullah, dan penyeru yang berada sepanjang jalan lurus itu adalah kata hati (waidzullah) yang dibisikkan Allah yang berada pada setiap orang Islam.”
“Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Imam Tirmidzi, dan Nasai  di atas digunakan juga oleh Ibnu Katsir ketika menjelaskan salah satu makna petunjuk (hidayah) pada surat al-Fatihah ayat 6 ini. Demikian juga Buya Hamka dalam tafsir beliau.
“Apa yang dapat kita ambil dari hadits di atas?” Mamiq Seni bertanya tetapi tidak berharap mereka menjawab.
“Setidaknya ada lima faktor penting yang disebut hadits di atas,” katanya menjawab sendiri apa yang dia maksud dari pertanyaannya, “Pertama, jalan lurus yaitu Islam Kedua, dua buah dinding yaitu batasan-batasan Allah. Ketiga, pintu-pintu yang berderet terbuka yaitu semua yang diharamkan. Keempat, penyeru di atas pintu gerbang yaitu Quran atau Kitabullah. Dan, kelima, penyeru yang berada sepanjang jalan lurus itu yaitu wa’idz (kata hati).”
“Lalu apa maksudnya kira-kira, Mamiq?” Ece tak sabar mendengar kejutan apa yang akan muncul. Dia sendiri berusaha tapi belum mendapat ide apapun.
“Baiklah. Mari coba kita kembangkan perumpamaan Nabi dalam hadits di atas. Andaikan saja landasan yang sedang kita pijaki ini adalah as-shirath al-mustaqim, jalan lurus itu. Garis putih-kuning pada sisi kiri dan kanan landasan anggap saja dinding pada dua sisi. Lampu-lampu yang berderet sepanjang sisi kiri-kanan itu adalah pintu-pintu yang terbuka. Pada awal kita melangkah tadi, di ujung barat landasan ini, kita anggap sebagai pintu gerbangnya dan di sana ada seorang penyeru. Terkahir, rambu-rambu yang ada di sepanjang landasan yang kita lalui ini, dari ujung barat sampai sampai ujung timur, adalah wa’idz (suara hati), penyeru yang berada sepanjang jalan lurus itu.
“Manakah kira-kira yang lebih utama? Maksudnya, dari kelima factor itu, mana yang menjadi pemeran utama?”
“Yang pertamah lah, kan as-shirat al-mutaqim, dan itu adalah Islam.”
“Saya kira penyeru di pintu gerbang itu, Mamiq. Bukankah Quran adalah mukjizat paling besar dan pegangan hidup setiap muslim, bahkan seluruh umat manusia?”
Berembe amun due dinding nike, Miq?[1] Bagaimana dengan dua dinding, yang merepresentasikan batasan-batasan Allah itu? Sebab keselamatan hidup di dunia dan akhirat akan kita raih kalalu kita bisa menjaga diri dari batasan-batasan Allah.”
Suasana tenang setelah beberapa orang menyampaikan apa yang dipikirkan.
Ara’ malik si lain?[2].
Masih diam. Tak ada yang bicara.
Makat de ara’ sak pilek nomer lime?[3] Mengapa tida ada yang memilih kelima: Para penyeru yang berada sepanjang jalan lurus itu?” Mamiq Seni menyodorkan sesuatu pilihan yang tidak mereka pikirkan.
Sejenak suasana tenang. Wa’idz? Suara hati? Itu kan sangat subjektif. Setiap orang akan berbeda-beda. Ekspresi para jamaah bermacam-macam.
“Bagaimana?” Mamiq menunggu dengan sabar.
“Baik tiang kasi plungguh[4] semua kesempatan 3 menit untuk berfikir. Tiang izin jok ai’ julu’ sebera’, nggih?[5].” Mamik Seni sedikit terkekeh dan degan langkah cepat, tepatnya lari kecil, menuju anak sungai di utara landasan.
Di sungai kecil itu atau satu bilik yang sengaja dibuat masyarakat untuk mereka yang darurat ingin buang hajat. Bilik itu sederhana tapi cukup nyaman dan aman dari pandangan.
***

Bukan tiga menit tapi hampir sepuluh menit Mamiq Seni dalam bilik itu. Saat keluar, fajar matahari benar-benar sedang menyeruak dan pada puncak keindahannya. Horison timur memerah jingga, bergaris-garis. Kami merasa tepat di bawah siluet Rinjani yang cantik.
“Ayo kita nikmati dulu keindahan ini. Anggap aja break. Mau saya ajarkan cara menikmatinya? Ikuti tiang.”
Mamik Seni menghadapkan seluruh badannya ke arah fajar. Nakir, Him, Ece, Nyelan dan beberapa jamaah tambahan mengikuti. Dia membentagkan tangannya. Kepalanya sedikit ditengadahkan ke langit. Kaki lurus tegak.
“Tarik otot ke atas dan kesamping dengan pelan. Tetapi tetaplah rileks. Rileks serileks-rileksnya. Bayangkan Anda seperti terbang melayang. Rasakan angin yang menerpa setiap bagian tubuh, sambil menarik nafas dari hidung dengan pelan.
“Ya, tarik nafas dengan pelan, pelaaan, lalu keluarkan dari mulut. Pelaaan…pelaaan…. Ulangi lagi, tarik nafas dari hidung dengan pelan, pelaaan. Kemudian rasakan detak jantung yang berdegup perlahan…ucapkan syukur atas semua nikmat kita terima selama ini. Hitung dalam hati satu sampai lima, lalu lepaskan lagi. Pelaan, pelaan, lepaskan dengan pelan. Lakukan sendiri-sendir seperti tadi tiga sampai lima kali.”
Semua terlihat asyik melakukan latihan pernafasan. Khusyu’.
“Bagaimana? Apa yang dirasakan?”
Maik idapne[6], Mamiq. Seger sekali. Badan terasa ringan. Perasaan menjadi tenang.”
“Hmmm itu belum seberapa. Sekarang ikuti saya lagi.”
“Tetap menghadap ke timur. Pejamkan mata. Sambil tetap tarik nafas, nikmati sinar matari yang mulai menerpa tubuh. Rasakan, rasakaaan. Sinar matahari itu adalah energy cuma-cuma yang luar biasa yang Allah anugrahkan buat kita. Ada berbagai vitamin dan manfaat bagi tubuh kita. Bayangkan sinar matahari itu merasuk menysupi seluruh bagian tubuh.
“Rasakan ia menyentuh kepala……. Otak……. Menggerak neuran-neuran…….. lalu membiakkan syaraf-syaraf……melipatgandakannya dari satu menjadi seratur, menjadi seribu, seratus ribu. Menjadi sejuta, seratus juga, berjuta-juta, bermilar-milyar dan seterusnya.
“Dengan izin Allah sinarnya matahari itu menghidupkan kembali yang sudah mati atau tak berfungsi pada mata, hidung, mulut dan telinga. Bayangkan sinar matari itu memijat-mijat semua bagian kepala, luar dan dalam. Rasakan kehangatan sentuhannya pada setiap kulit ari dan bulu-bulu halus pada badan.
“Rasakan….rasakaaan, rasakaaan……
“Sekarang banyankan sinar matahari itu memijat-mijat dengan halus tengkuk, leher, bahu, punggung, terus sampai ke jari-jari kaki. Rasakan-rasakan kehangatan yang merayap ke seluruh bangian tubuh.
“Rasakan…rasakaaan… rasakan sentuhan pada bulu-bulu halus pada seluruh tubuh…rasakan…rasakaaaan kehangatannya.”
Sampa disini Mamik Seni diam membirakan mereka membayangakan sendiri sesuai kesuakan dan kebutuhannya. Yang ada hanya sepi. Suara-suara alam makin terdengar. Ada suara derapt kaki. Ada suara sungai, suara tankai-tankai yang hanyut. Suara burung, angina dan awan-awan yang bearak.
Satu-dua menit berlalu. “Akhiri dengan tarik nafas lagi. Pelan pelan. Pada hitungan ketiga keluarkan. Pelan pelan… Lalu buka mata, pelan, pelan.”
“Bagaimana? Apa yang dirasakan sekarang?”
“Luar biasa, Mamiq. Benar-benar saya trans. Saya diliputi ketengan sekarang. Saya merasa ringan sekali. Beban terasa lepas… lepas…. Mungkin sama seperti setelah pelungguh keluar dari bilik kecil itu tadi.” Tua’ Uden, jamaah baru yang lain, tak tahan ingin menyampaikan apa yang ia rasakan.
“Alhamdulillah. Itu belum seberapa. Sungguh Allah telah memberikan semua secara gratis kepada kita. Cuma-cuma. Dan suasana di lapangan ini, tak banyak tempat seinda ini di dunia. Beruntung kita lahir dan hidup di kampung ini. Tetapi jangan merugi seperti kebanyak mereka yang tidak bisa menikmatinya, terutama karena mereka ndak ikut bangun pagi dan shalat subuh. Hidup ini sungguh indah, sebenarnya. Tapi kita lebih sering membuatnya terlihat kusam.
“Oke, sekarang kita lanjutkan. Kita kembali ke tadarusan. Dan mestinya setalah ini diskusi akan lebih seru lagi. Setuju…” Mamik Seni memotivasi mereka untuk tidak ragu-ragu menyampaikan apa saja yang dipikirkan.
“Mamiq,” tiba-tiba Tua’ Uden mengakat tangan. “Kalau tiang kaji perumpmaan Nabi tadi, maka faktor yang krusial—saya tidak mengatakan yang terpenting—adalah ruas jalan lurus itu sendiri, yaitu ruas antara pintu gerbang sampai dengan titik tujuan. Tiang pikir itu perumpamaan bagi masa kehidupan kita di dunia ini. Dan kita sadar bahwa itu adalah masa yang paling penting.
“Jika kita sepakat, bahwa hidup kita di dunia ini adalah masa-masa yang paling krusial, maka tiang rasa penyeru yang berada sepanjang jalan lurus itu menjadi sangat penting. Sekali lagi saya tidak bermaksud mengatakan ini yang utama, tetapi setidaknya ini penting sekali.”
“Baik, tidak utama, tapi apakah berarti plungguh megatakan bahwa Islam dan Quran tidak penting?”
“Tentu tidak, Mamiq. Saya hanya ingin mengatakan akhirnya yang penting itu adalah masa-masa kita melalui jalan yang lurus itu. Saat itulah tantangannya. Kita dituntut untuk bisa mewujudkan nilai-nilai Islam atau Quran sepanang perjalanan yang lurus itu. Karena itu kita diajarkan berdoa untuk mendapat pentunjuk. Ihadinas shirâtal mustaqîm. Dan kita tahu petunjuk di sini, kalau dalam kehidupan sehari-hari adalah kesadaran, mawas diri. Dan itu tentu terkati dengan kata hati, karena kata hati dekat kepada kebenaran.”
“O, saya mengerti apa yang pelungguh maksud.” Mamiq Seni merasa dapat menangkap kata kunci yang menjadi pemikiran Tua’ Uden. “Tiang setuju. Saya kira maksud pelungguh itu adalah apa yang dalam istialah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi, Imam Ahmad dan an-Nasai di atas sebagai wâ’idzullâh fi qalbi kulli muslim. Wâ’idz di sini, seperti ditulis oleh Buya Hamka berarti “suara hati” yang ada pada setiap orang Islam.
“Saya kira ini adalah perspektif yang segar sekali. Hmmm maaf, plungguh tahu arti perspektif? Itu bahasa anak sekolah. Amun bahasente ite[7] artinya pandangan atau pendapat, kira-kira begitu.
“Kata hati, rasa yang paling dalam. Saya kita kita semua sehari-hari juga melakukan ini. Bahkan mungkin kita lebih banyak bertanya dalam hati ketika ketika memutuskan sesuat ketimbang bertanya, misalnya, kepada orang yang kita anggap lebih pandai.”
“Padanan lain dari kata hati adalah ilham.” Tiba-tiba Ece angkat bicara. “Para ulama memberi berbagai macam arti atas hidayah. Sayyid Thantowi, misalnya, dalam tafsirnya memaknai hidayah dengan tabyîn (penjelasan), seruan (dâ’in [penyeru] semakna dengan hâdin). Hidayah juga bisa bermakna ilhâm. ‘Siapa Tuhanmu berdua, wahai Musa? Tuhan kami adalah yang menciptakan segala sesuatu lalu memberina hidayah.’ Hidayah dalam ayat ini menurut berapa musfassir berbarti ilhâm, dan tiang setuju sekali dalam behasa sehari-hari ilham itu adalah kata hati.
“Kata hati memang bisa dijadikan pemandu kita menjalani hidup ini—sebagai penyeru seperti yang digambarkan dan dijelaskan dalam perumpamaan hadits Nabi di atas.”
“Ikhwani, saya salut dengan kawan kita, Ece. Dia nampak sudah mulai suka membaca. Terima kasih, Ece.” Mamiq menyanjung. “Dan kita sekarag paham betapa pentingnya kata hati. Baiklah, sekrang kita kembali kepada ayat yang sedang kita bahas. Ayat ini mengajarkan kita sebuah permintaan, yaitu meminta ditunjuki jalan yang lurus.
“Bayangkan, secara khusus Tuhan mengajari kita untuk miminta. Dan satu-satunya permintaan yang diajarkan Tuhan dalam satu surat pendek yang merupakan induk Quran, intisari Quran, adalah meminta ditunjuki jalan yang lurus. Ini berarti bahwa menitu jalan yang lurus, setia pada kebenara, adalah satu-satunya pilihan untuk selamat.”
“Kebenaran adalah sesuatu yang Allah inginkan untuk kita junjung dengan penuh sungguh.” Tua’ Uden kembali menanggapi. Sekrang dia nampak lebih serius. “Dalam ukuran yang paling sederhana kebenaran itu bisa diukur dengan suara hati. Seseorang yang setia pada kebenaran adalah mereka yang mendengar kata hatinya, lalu tunduk. Tanpa kesetiaan seperti ini maka permintaan atas jalan kebenaran, jalan lurus, sama saja dengan mencandai Tuhan.
“Ibarat seorang yang sangat haus, lalu meminta air. Tetapi dia hanya duduk tidak melakukan sesuatu apapun untuk mendaptkan minuman. Atau ketika air itu ada ia tidak melakukan sesuatu apapun untuk memasukkan air itu ke mulutnya. Ia hanya berharap tenggorokannya akan tiba-tiba basah. Tentulah hausnya tidak akan teratasi
“Demikian pula dengan orang hanya berdoa supaya diberi cahaya meraih jalan terang, tetapi dia tidak melakukan apapun untuk mendapatkan cahaya itu. Ia tidak belajar, tidak bertanya kepada orang lain, tidak pula mengerahkan daya pikirnya untuk mencari jalan terang yang diharapkan. Ia hanya menunggu, duduk, dengan pikiran hampa. Atau malah lebih banyak melamum, berkhayal tentang sesutu yang tak membawanya sedikitpun kepada jalan hidayah yang ingin diraih. Tapi malah sebaliknya, memikirkan hal-hal yang dilarang Agama. Bagaimana mungkin petunjuk akan datang?” Tua’ Uden nampak puas menyampaikan hasil tafakkurnya.
“Pertanyaan adalah,” kata Him menyela, “bagaimana cara memastikan bahwa kita berada dalam hidayah, atau bahwa kata hati kita benar? Atau setidaknya dekat kepada kebenaran?”
Sebuah pertanyaan yang sederhana tapi tidak mudah. Sebab ini memerlukan penjelasan yang praktis.
“Mamiq Seni,” Tua’ Jirin[8] mengankat tangan. Beliau juga jamaah yang baru ikut bergabung dalam tadarusan. Orangnya penuh semangat dan bicara lugas. “Imam Ar-Razi, dalam tafsir beliau, Futuhat Makiyah, menjelaskan dua cara memperoleh hidayah. Pertama adalah dengan menggunakan rasio yang jernih yang bersandar pada kekuatan argumentasi (hujjah atau dalîl). Kedua, dengan membersihkan hati melaui pendisiplinan atau pembiasaan diri pada suatu perbuatan baik (riyâdhah).
“Ini artinya kita harus banyak belajar, menutut ilmu. Banyak bertanya kepada mereka yang lebih tahu. Tetapi itu saja tidak cukup, kita juga harus melatih diri untuk disiplin pada kebiasan baik. Otak dan hati kita harus dibiasakan untuk memikirkan yang baik-baik. Ini juga bagian dari berpikir secara postif. Jadi tidak hanya bermakna berbaik sangka kepada apa yang terjadi atau kita alami, berpikir positif juga berarti kita harus sebanyak mungkin memikirkan hal-hal positif. Hal-hal besar yang baik. Kata seorang bijak, orang kecil membicarakan orang lain, tetapi orang besar membicarakan pikiran-pikiran besar.
“Dengan sedikit penglihatan batin, saya meminjam kata-kata Abdullah Yusuf Ali, tentu maksudnya batin yang sudah terasah, kita dapat mengetahui jalan mana yang berada dalam cahaya Allah, dan mana yang dalam kegelapan murka-Nya.” Tua’ Jirin menutup pembicaraannya dengan merujuk komentar Yusuf Ali pada ayat keenam al Fatihah ini.
Sebuah tadarusan yang bernas telah terjadi. Jamah terlihat puas. Meraka merasa mendapatkan banyak hal pagi ini.
“Saya bersykur sekali pagi ini.” Kata Mamik dengan suara barito. ”Andai setiap hari, atau setidaknya dua tiga kali seminggu, sepanjang umur kita bisa berbagi ilmu seperti ini, alangkah indahnya hidup ini.
Sementon jarin tiang senamian[9]. Lombok itu berasal dari kata lombo’ yang berarti lurus. Sepertinya papu’-balok kita dulu berharap agar mereka yang menghuni pulau ini selalu berada pada jalan yang lurus—memegang teguh kebenaran. Semoga kita bisa mewujudkannya. Âmîn, âmîn. Wallâhul hâdiy ilâ shirâthal mustaqîm. Wassalâmualaikum warahmatullâh wabarakâtuh.” Mamik lalu mengakhiri tadarusan dengan doa bersama.[]

(Bahan awal dari tulisan ini dibuat di Gorontalo, 24 April 2012, dan ditulis ulang di Masjid Raya At-Taqwa, Mataram, Lombok, 29 Ramadhan 1433/18 Agustus 2012)

Fotenote:

[1] Berembe amun due dinding nike, Miq? = Bagaimana dengan dua dinging itu, Mamiq?
[2] Ara’ malik si lain? = Ada yang lain?
[3] Makat de ara’ sak pilek nomer lime? = Mengapa tidak ada yang memilih yang kelima?
[4] Plunguh = bahasa halus untuk Anda.
[5] Tiang izin jok ai’ julu’ sebera’ nggih? secara bahasa berarti ‘mau ke air dulu sebentar, ya’, maksudnya ke kamar kecil. Ungkapan ini memang sangat kontekstual karena dulu orang kampung kalau mau buang air besar biasanya ke sungai. Sekarang meskipun mereka sudah memiliki toilet permanen sebagai mana umumnya tetap saja mereka menggunakan istilah ini.
[6] Maik idapne = enak rasanya.
[7] Amun bahasente ite = kalau dalam bahasa kita.
[8] Nama sebenarnya adalah Muhajirin.
[9] Sementon jarin tiang senamian = saudara-saudaraku sekalian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar