Tuhan,
bentangkan di hadapan kami jalan lurus, jalan kebenaran.
--Terjemah
Maknawiyah, al-Fatihah/1: 6
Kata Kunci: petunjuk,
jalan yang benar.
Bila kemarin
grimis, pagi ini benar-benar cerah. Fajar menyibak angkasa timur, membuka jalan
bagi terbitnya matahari. Biasanya, sebentar lagi Rinjani benar-benar
menampakkan keindahannya yang sempurna. Langit biru jernih menjelma menjadi
kanvas. Malaikat keindahan menggoreskan kuwasnya melukis awan-awan yang menggantung
di atas Rinjani. Maka sebuah keindahan yang bertasbih memancar memenuhi
cakrawala.
Mamiq Seni
tidak mau kehilangan momen ini. Juga jamaah yang lain. Maka sekali lagi dia
mengajak tadarusan sambil berjalan-jalan, di atas bekas landasan, menyusuri
garis lurus yang berada tepat di tengahnya.
Mamik Seni
tekesan dengan kosntruski landasan ini, dan melihatnya dalam perpektif ayat
keenam surat al-Fatihah ini menjadi menakjubkan. Garis lurus di tengahnya dibuat
untuk memandu pesawat agar tetap berada pada track yang benar. Di pingirnya ada
lampu-lampu sepanjang keempat sisi luar untuk memberitahu pilot batas-batas
aman. Sekali mereka melewati batas itu bahaya mengancam—tergelincir.
“’Allah mengumpamakan
jalan yang benar itu seperti sebuah jalan yang lurus,’ sabda Nabi,” Mamiq Seni
memulai tadarusan. “Mungkin seperti garis lurus yang sedang kita tapaki ini. ‘Pada
kedua tepian jalan itu,’ lanjut Nabi, ‘ada tembok dengan pintu-pintu terbuka. Pada
pintu-pintu itu ada tabir yang terurai. Tepat di atas gerbang jalan lurus itu
ada penyeru yang berkata: ‘Wahai manusia, masuklah kalian semua ke dalam jalan
yang lurus itu dan janganlah melenceng.’ Sepanjang jalan lurus itu ada penyeru di
atasnya. Ketika ada yang akan membuka pintu yang berjejer pada dinding di kedua
sisinya itu ia berkata, ‘Awas! Jangan buka pintu itu. Jika kalian buka kalian
akan terperosok ke dalam.’”
“Rasulullah
lalu menjelaskan bahwa jalan yang lurus itu adalah Islam, kedua dinding itu
adalah batas-batasan Allah. Pintu-pintu yang berderet terbuka itu adalah segala
hal yang diharamkan Allah. Penyeru yang berada di atas pintu gerbang itu adalah
Kitabullah, dan penyeru yang berada sepanjang jalan lurus itu adalah kata hati
(waidzullah) yang dibisikkan Allah
yang berada pada setiap orang Islam.”
“Hadits yang
diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Imam Tirmidzi, dan Nasai di atas digunakan juga oleh Ibnu Katsir ketika
menjelaskan salah satu makna petunjuk (hidayah) pada surat al-Fatihah ayat 6
ini. Demikian juga Buya Hamka dalam tafsir beliau.
“Apa yang
dapat kita ambil dari hadits di atas?” Mamiq Seni bertanya tetapi tidak
berharap mereka menjawab.
“Setidaknya
ada lima faktor penting yang disebut hadits di atas,” katanya menjawab sendiri
apa yang dia maksud dari pertanyaannya, “Pertama, jalan lurus yaitu Islam Kedua,
dua buah dinding yaitu batasan-batasan Allah. Ketiga, pintu-pintu yang berderet
terbuka yaitu semua yang diharamkan. Keempat, penyeru di atas pintu gerbang
yaitu Quran atau Kitabullah. Dan, kelima, penyeru yang berada sepanjang jalan
lurus itu yaitu wa’idz (kata hati).”
“Lalu apa
maksudnya kira-kira, Mamiq?” Ece tak sabar mendengar kejutan apa yang akan
muncul. Dia sendiri berusaha tapi belum mendapat ide apapun.
“Baiklah.
Mari coba kita kembangkan perumpamaan Nabi dalam hadits di atas. Andaikan saja
landasan yang sedang kita pijaki ini adalah as-shirath al-mustaqim, jalan lurus itu. Garis putih-kuning pada sisi
kiri dan kanan landasan anggap saja dinding pada dua sisi. Lampu-lampu yang
berderet sepanjang sisi kiri-kanan itu adalah pintu-pintu yang terbuka. Pada
awal kita melangkah tadi, di ujung barat landasan ini, kita anggap sebagai
pintu gerbangnya dan di sana ada seorang penyeru. Terkahir, rambu-rambu yang
ada di sepanjang landasan yang kita lalui ini, dari ujung barat sampai sampai
ujung timur, adalah wa’idz (suara hati), penyeru yang berada sepanjang jalan
lurus itu.
“Manakah
kira-kira yang lebih utama? Maksudnya, dari kelima factor itu, mana yang
menjadi pemeran utama?”
“Yang
pertamah lah, kan as-shirat al-mutaqim,
dan itu adalah Islam.”
“Saya kira penyeru
di pintu gerbang itu, Mamiq. Bukankah Quran adalah mukjizat paling besar dan
pegangan hidup setiap muslim, bahkan seluruh umat manusia?”
“Berembe amun due dinding nike, Miq?[1] Bagaimana
dengan dua dinding, yang merepresentasikan batasan-batasan Allah itu? Sebab
keselamatan hidup di dunia dan akhirat akan kita raih kalalu kita bisa menjaga
diri dari batasan-batasan Allah.”
Suasana
tenang setelah beberapa orang menyampaikan apa yang dipikirkan.
“Ara’ malik si lain?[2].
Masih diam.
Tak ada yang bicara.
“Makat de ara’ sak pilek nomer lime?[3]
Mengapa tida ada yang memilih kelima: Para penyeru yang berada sepanjang jalan
lurus itu?” Mamiq Seni menyodorkan sesuatu pilihan yang tidak mereka pikirkan.
Sejenak
suasana tenang. Wa’idz? Suara hati? Itu kan sangat subjektif. Setiap orang akan
berbeda-beda. Ekspresi para jamaah bermacam-macam.
“Bagaimana?”
Mamiq menunggu dengan sabar.
“Baik tiang kasi plungguh[4]
semua kesempatan 3 menit untuk berfikir. Tiang
izin jok ai’ julu’ sebera’, nggih?[5].”
Mamik Seni sedikit terkekeh dan degan langkah cepat, tepatnya lari kecil,
menuju anak sungai di utara landasan.
Di sungai
kecil itu atau satu bilik yang sengaja dibuat masyarakat untuk mereka yang
darurat ingin buang hajat. Bilik itu sederhana tapi cukup nyaman dan aman dari
pandangan.
***
Bukan tiga
menit tapi hampir sepuluh menit Mamiq Seni dalam bilik itu. Saat keluar, fajar
matahari benar-benar sedang menyeruak dan pada puncak keindahannya. Horison
timur memerah jingga, bergaris-garis. Kami merasa tepat di bawah siluet Rinjani
yang cantik.
“Ayo kita
nikmati dulu keindahan ini. Anggap aja break. Mau saya ajarkan cara
menikmatinya? Ikuti tiang.”
Mamik Seni
menghadapkan seluruh badannya ke arah fajar. Nakir, Him, Ece, Nyelan dan
beberapa jamaah tambahan mengikuti. Dia membentagkan tangannya. Kepalanya
sedikit ditengadahkan ke langit. Kaki lurus tegak.
“Tarik otot
ke atas dan kesamping dengan pelan. Tetapi tetaplah rileks. Rileks
serileks-rileksnya. Bayangkan Anda seperti terbang melayang. Rasakan angin yang
menerpa setiap bagian tubuh, sambil menarik nafas dari hidung dengan pelan.
“Ya, tarik nafas
dengan pelan, pelaaan, lalu keluarkan dari mulut. Pelaaan…pelaaan…. Ulangi
lagi, tarik nafas dari hidung dengan pelan, pelaaan. Kemudian rasakan detak
jantung yang berdegup perlahan…ucapkan syukur atas semua nikmat kita terima
selama ini. Hitung dalam hati satu sampai lima, lalu lepaskan lagi. Pelaan, pelaan,
lepaskan dengan pelan. Lakukan sendiri-sendir seperti tadi tiga sampai lima
kali.”
Semua
terlihat asyik melakukan latihan pernafasan. Khusyu’.
“Bagaimana?
Apa yang dirasakan?”
“Maik idapne[6],
Mamiq. Seger sekali. Badan terasa ringan. Perasaan menjadi tenang.”
“Hmmm itu
belum seberapa. Sekarang ikuti saya lagi.”
“Tetap
menghadap ke timur. Pejamkan mata. Sambil tetap tarik nafas, nikmati sinar
matari yang mulai menerpa tubuh. Rasakan, rasakaaan. Sinar matahari itu adalah
energy cuma-cuma yang luar biasa yang Allah anugrahkan buat kita. Ada berbagai
vitamin dan manfaat bagi tubuh kita. Bayangkan sinar matahari itu merasuk
menysupi seluruh bagian tubuh.
“Rasakan ia
menyentuh kepala……. Otak……. Menggerak neuran-neuran…….. lalu membiakkan
syaraf-syaraf……melipatgandakannya dari satu menjadi seratur, menjadi seribu,
seratus ribu. Menjadi sejuta, seratus juga, berjuta-juta, bermilar-milyar dan
seterusnya.
“Dengan izin
Allah sinarnya matahari itu menghidupkan kembali yang sudah mati atau tak
berfungsi pada mata, hidung, mulut dan telinga. Bayangkan sinar matari itu
memijat-mijat semua bagian kepala, luar dan dalam. Rasakan kehangatan sentuhannya
pada setiap kulit ari dan bulu-bulu halus pada badan.
“Rasakan….rasakaaan,
rasakaaan……
“Sekarang
banyankan sinar matahari itu memijat-mijat dengan halus tengkuk, leher, bahu,
punggung, terus sampai ke jari-jari kaki. Rasakan-rasakan kehangatan yang
merayap ke seluruh bangian tubuh.
“Rasakan…rasakaaan…
rasakan sentuhan pada bulu-bulu halus pada seluruh tubuh…rasakan…rasakaaaan
kehangatannya.”
Sampa disini
Mamik Seni diam membirakan mereka membayangakan sendiri sesuai kesuakan dan
kebutuhannya. Yang ada hanya sepi. Suara-suara alam makin terdengar. Ada suara
derapt kaki. Ada suara sungai, suara tankai-tankai yang hanyut. Suara burung, angina
dan awan-awan yang bearak.
Satu-dua
menit berlalu. “Akhiri dengan tarik nafas lagi. Pelan pelan. Pada hitungan
ketiga keluarkan. Pelan pelan… Lalu buka mata, pelan, pelan.”
“Bagaimana?
Apa yang dirasakan sekarang?”
“Luar biasa,
Mamiq. Benar-benar saya trans. Saya diliputi ketengan sekarang. Saya merasa
ringan sekali. Beban terasa lepas… lepas…. Mungkin sama seperti setelah pelungguh keluar dari bilik kecil itu tadi.”
Tua’ Uden, jamaah baru yang lain, tak tahan ingin menyampaikan apa yang ia
rasakan.
“Alhamdulillah.
Itu belum seberapa. Sungguh Allah telah memberikan semua secara gratis kepada
kita. Cuma-cuma. Dan suasana di lapangan ini, tak banyak tempat seinda ini di
dunia. Beruntung kita lahir dan hidup di kampung ini. Tetapi jangan merugi
seperti kebanyak mereka yang tidak bisa menikmatinya, terutama karena mereka ndak ikut bangun pagi dan shalat subuh.
Hidup ini sungguh indah, sebenarnya. Tapi kita lebih sering membuatnya terlihat
kusam.
“Oke,
sekarang kita lanjutkan. Kita kembali ke tadarusan. Dan mestinya setalah ini
diskusi akan lebih seru lagi. Setuju…” Mamik Seni memotivasi mereka untuk tidak
ragu-ragu menyampaikan apa saja yang dipikirkan.
“Mamiq,”
tiba-tiba Tua’ Uden mengakat tangan. “Kalau tiang kaji perumpmaan Nabi tadi, maka
faktor yang krusial—saya tidak mengatakan yang terpenting—adalah ruas jalan
lurus itu sendiri, yaitu ruas antara pintu gerbang sampai dengan titik tujuan. Tiang
pikir itu perumpamaan bagi masa kehidupan kita di dunia ini. Dan kita sadar
bahwa itu adalah masa yang paling penting.
“Jika kita
sepakat, bahwa hidup kita di dunia ini adalah masa-masa yang paling krusial,
maka tiang rasa penyeru yang berada sepanjang jalan lurus itu menjadi sangat
penting. Sekali lagi saya tidak bermaksud mengatakan ini yang utama, tetapi
setidaknya ini penting sekali.”
“Baik, tidak
utama, tapi apakah berarti plungguh
megatakan bahwa Islam dan Quran tidak penting?”
“Tentu
tidak, Mamiq. Saya hanya ingin mengatakan akhirnya yang penting itu adalah
masa-masa kita melalui jalan yang lurus itu. Saat itulah tantangannya. Kita
dituntut untuk bisa mewujudkan nilai-nilai Islam atau Quran sepanang perjalanan
yang lurus itu. Karena itu kita diajarkan berdoa untuk mendapat pentunjuk. Ihadinas shirâtal mustaqîm. Dan kita
tahu petunjuk di sini, kalau dalam kehidupan sehari-hari adalah kesadaran,
mawas diri. Dan itu tentu terkati dengan kata hati, karena kata hati dekat
kepada kebenaran.”
“O, saya
mengerti apa yang pelungguh maksud.”
Mamiq Seni merasa dapat menangkap kata kunci yang menjadi pemikiran Tua’ Uden.
“Tiang setuju. Saya kira maksud pelungguh itu adalah apa yang dalam istialah
hadits yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi, Imam Ahmad dan an-Nasai di atas
sebagai wâ’idzullâh fi qalbi kulli muslim.
Wâ’idz di sini, seperti ditulis oleh
Buya Hamka berarti “suara hati” yang ada pada setiap orang Islam.
“Saya kira
ini adalah perspektif yang segar sekali. Hmmm maaf, plungguh tahu arti
perspektif? Itu bahasa anak sekolah. Amun
bahasente ite[7]
artinya pandangan atau pendapat, kira-kira begitu.
“Kata hati, rasa yang paling dalam. Saya
kita kita semua sehari-hari juga melakukan ini. Bahkan mungkin kita lebih
banyak bertanya dalam hati ketika ketika memutuskan sesuat ketimbang bertanya,
misalnya, kepada orang yang kita anggap lebih pandai.”
“Padanan lain dari kata hati adalah ilham.”
Tiba-tiba Ece angkat bicara. “Para ulama memberi berbagai macam arti atas
hidayah. Sayyid Thantowi, misalnya, dalam tafsirnya memaknai hidayah dengan tabyîn (penjelasan), seruan (dâ’in [penyeru] semakna dengan hâdin). Hidayah juga bisa bermakna ilhâm. ‘Siapa Tuhanmu berdua, wahai
Musa? Tuhan kami adalah yang menciptakan segala sesuatu lalu memberina
hidayah.’ Hidayah dalam ayat ini menurut berapa musfassir berbarti ilhâm, dan tiang setuju sekali dalam behasa sehari-hari ilham itu adalah kata
hati.
“Kata hati memang bisa dijadikan pemandu
kita menjalani hidup ini—sebagai penyeru seperti yang digambarkan dan
dijelaskan dalam perumpamaan hadits Nabi di atas.”
“Ikhwani, saya salut dengan kawan kita,
Ece. Dia nampak sudah mulai suka membaca. Terima kasih, Ece.” Mamiq menyanjung.
“Dan kita sekarag paham betapa pentingnya kata hati. Baiklah, sekrang kita
kembali kepada ayat yang sedang kita bahas. Ayat ini mengajarkan kita sebuah
permintaan, yaitu meminta ditunjuki jalan yang lurus.
“Bayangkan, secara khusus Tuhan mengajari
kita untuk miminta. Dan satu-satunya permintaan yang diajarkan Tuhan dalam satu
surat pendek yang merupakan induk Quran, intisari Quran, adalah meminta
ditunjuki jalan yang lurus. Ini berarti bahwa menitu jalan yang lurus, setia
pada kebenara, adalah satu-satunya pilihan untuk selamat.”
“Kebenaran adalah sesuatu yang Allah
inginkan untuk kita junjung dengan penuh sungguh.” Tua’ Uden kembali
menanggapi. Sekrang dia nampak lebih serius. “Dalam ukuran yang paling
sederhana kebenaran itu bisa diukur dengan suara hati. Seseorang yang setia
pada kebenaran adalah mereka yang mendengar kata hatinya, lalu tunduk. Tanpa
kesetiaan seperti ini maka permintaan atas jalan kebenaran, jalan lurus, sama
saja dengan mencandai Tuhan.
“Ibarat seorang yang sangat haus, lalu
meminta air. Tetapi dia hanya duduk tidak melakukan sesuatu apapun untuk
mendaptkan minuman. Atau ketika air itu ada ia tidak melakukan sesuatu apapun
untuk memasukkan air itu ke mulutnya. Ia hanya berharap tenggorokannya akan
tiba-tiba basah. Tentulah hausnya tidak akan teratasi
“Demikian pula dengan orang hanya berdoa
supaya diberi cahaya meraih jalan terang, tetapi dia tidak melakukan apapun
untuk mendapatkan cahaya itu. Ia tidak belajar, tidak bertanya kepada orang
lain, tidak pula mengerahkan daya pikirnya untuk mencari jalan terang yang
diharapkan. Ia hanya menunggu, duduk, dengan pikiran hampa. Atau malah lebih
banyak melamum, berkhayal tentang sesutu yang tak membawanya sedikitpun kepada
jalan hidayah yang ingin diraih. Tapi malah sebaliknya, memikirkan hal-hal yang
dilarang Agama. Bagaimana mungkin petunjuk akan datang?” Tua’ Uden nampak puas
menyampaikan hasil tafakkurnya.
“Pertanyaan adalah,” kata Him menyela, “bagaimana
cara memastikan bahwa kita berada dalam hidayah, atau bahwa kata hati kita
benar? Atau setidaknya dekat kepada kebenaran?”
Sebuah
pertanyaan yang sederhana tapi tidak mudah. Sebab ini memerlukan penjelasan
yang praktis.
“Mamiq
Seni,” Tua’ Jirin[8]
mengankat tangan. Beliau juga jamaah yang baru ikut bergabung dalam tadarusan.
Orangnya penuh semangat dan bicara lugas. “Imam Ar-Razi, dalam tafsir beliau, Futuhat
Makiyah, menjelaskan dua cara memperoleh hidayah. Pertama adalah dengan menggunakan
rasio yang jernih yang bersandar pada kekuatan argumentasi (hujjah atau dalîl). Kedua, dengan membersihkan hati melaui pendisiplinan atau
pembiasaan diri pada suatu perbuatan baik (riyâdhah).
“Ini artinya
kita harus banyak belajar, menutut ilmu. Banyak bertanya kepada mereka yang
lebih tahu. Tetapi itu saja tidak cukup, kita juga harus melatih diri untuk
disiplin pada kebiasan baik. Otak dan hati kita harus dibiasakan untuk memikirkan
yang baik-baik. Ini juga bagian dari berpikir secara postif. Jadi tidak hanya
bermakna berbaik sangka kepada apa yang terjadi atau kita alami, berpikir
positif juga berarti kita harus sebanyak mungkin memikirkan hal-hal positif.
Hal-hal besar yang baik. Kata seorang bijak, orang kecil membicarakan orang
lain, tetapi orang besar membicarakan pikiran-pikiran besar.
“Dengan sedikit penglihatan batin, saya meminjam kata-kata Abdullah Yusuf Ali, tentu maksudnya
batin yang sudah terasah, kita dapat mengetahui jalan mana yang berada dalam
cahaya Allah, dan mana yang dalam kegelapan murka-Nya.” Tua’ Jirin menutup pembicaraannya
dengan merujuk komentar Yusuf Ali pada ayat keenam al Fatihah ini.
Sebuah tadarusan yang bernas telah terjadi. Jamah
terlihat puas. Meraka merasa mendapatkan banyak hal pagi ini.
“Saya bersykur sekali pagi ini.” Kata Mamik dengan
suara barito. ”Andai setiap hari, atau setidaknya dua tiga kali seminggu, sepanjang
umur kita bisa berbagi ilmu seperti ini, alangkah indahnya hidup ini.
“Sementon
jarin tiang senamian[9].
Lombok
itu berasal dari kata lombo’ yang
berarti lurus. Sepertinya papu’-balok
kita dulu berharap agar mereka yang menghuni pulau ini selalu berada pada jalan
yang lurus—memegang teguh kebenaran. Semoga kita bisa mewujudkannya. Âmîn, âmîn. Wallâhul hâdiy ilâ shirâthal mustaqîm. Wassalâmualaikum warahmatullâh wabarakâtuh.” Mamik lalu mengakhiri
tadarusan dengan doa bersama.[]
(Bahan awal dari tulisan ini dibuat di Gorontalo, 24 April
2012, dan ditulis ulang di Masjid Raya At-Taqwa, Mataram, Lombok, 29 Ramadhan
1433/18 Agustus 2012)
Fotenote:
[4] Plunguh = bahasa halus untuk Anda.
[5] Tiang izin jok ai’ julu’ sebera’ nggih?
secara bahasa berarti ‘mau ke air dulu sebentar, ya’, maksudnya ke kamar kecil.
Ungkapan ini memang sangat kontekstual karena dulu orang kampung kalau mau buang
air besar biasanya ke sungai. Sekarang meskipun mereka sudah memiliki toilet
permanen sebagai mana umumnya tetap saja mereka menggunakan istilah ini.
[6] Maik idapne = enak rasanya.
[8]
Nama sebenarnya adalah Muhajirin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar