Sabtu, 25 Agustus 2012

Bekerjalah Sepenuh Hati (Pintu Kelima)


Hanya untuk-Mu kami persembahkan hidup ini
Dan hanya dari-Mu kami mengharap pertolongan.

--Terjemah Maknawiyah, al-Fatihah/1: 5
                             
Kata Kunci: Persembahan, mengharap pertolongan

Semalam hujan turun lebat dan menyisakan gerimis pagi ini. Bunga-bunga di taman masjid merekah seperti salik[1] yang antusias menyambut dhuha. Pepohonan hijau berseri, bersinar bagai manik-manik zamrud. Di atas daun-daun pepohonan itu butir-butir gerimis jatuh bertalu bersama gerakan ritmis tasbih para jamaah yang masih tenggelam dalam wiridan. Dan kesejukan pun menyelinap masuk ke masjid utama kampung Tinggar, At-Taubah.
Mamiq Seni, dan kawan-kawannya memutuskan untuk mengadakan tadarusan di masjid At-Taubah pagi ini, tidak di Al-Amin seperti biasanya. Kondisi ini membawa berkah, karena jamaah subuh yang lain, yang juga tidak bisa pulang langsung, akhirnya ikut bergabung dalam tadarusan.
“Rahasia Quran adalah al-Fatihah, rahasia al-Fatihah adalah ayat iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in.” Tanpa basa-basi panjang Mamik Seni memulai tadarusan dengan mengutip kata-kata yang dinisbatkan kepada sebagian ulama salaf. “Ayat ini menghantarkan seseorang untuk membebaskan diri dari syirk dan mengajaknya untuk fokus—mempercayakan urusannya sepenuhnya kepada Allah SWT. Ini senada dengan penjelasan surat Hud ayat 123: ‘Maka sembahlah Allah dan percayakanlah urusanmu kepada-Nya. Allah sekali-kali tidak menyia-nyiakan amal-usahamu, sekecil apapun.’
“Membebaskan dari syirk, tubri`u minans syirk, adalah pelepasan diri dari tujuan yang banyak—syirk, kepada yang satu—tauhid: hanya dan untuk Allah. Ada negasi dan afirmasi, an-nafyu wal itsbat, dalam ayat ini. Ia meminta kita menegasikan banyak tujuan, banyak sesembahan, lalu menegaskan satu tujuan, satu Tuhan—Allah ‘azza wa jalla.”
“Hal kedua perlu diperhatikan terkait dengan masalah bahasa dalam ayat ini adalah terjadinya perubahan struktur dari orang ketiga ke orang kedua. Pada ayat pertama sampai keempat dhamir yang digunakan adalah orang ketiga , dia (huwa). Sedang pada ayat kelima dan seterusnya dengan orang kedua, enkau (ka). Mengapa? Ibnu Katsir menjelaskan, ketika seorang hamba memuji Allah—dengan orang ketiga—maka ia seolah-olah berada posisi jauh lalu mendekat. Ketika sudah dekat maka seolah-olah dia dalam posisi bertatapan, hadir di hadapan Allah ta’ala. Maka dia tidak lagi mengatakan Dia tetapi Enkau. Maka kalimatnya menjadi ‘hanya kepada Engkau (iyyaka)’, bukan ‘hanya kepada-Nya (iyyahu).’”
“Pada titik ini…,” sela Him sedikit ragu. Pecinya dilepas sambil menggaruk bagian belakang kupingnya. “Pada titik ini, sesorang sebenarnya seolah sedang berdialog langsung dengan Allah SWT. Saya ingat hadits Nabi SAW: Innal mushalliyâ yunajî rabbahû. Orang yang sedang shalat itu sedang berbisik, bermunajat, sedang mengadu langsung kepada Tuhannya. Maka…, maka orang yang shalat mestinya menyadari bahwa mereka sedang dalam kesempatan emas untuk mencapai drajat tertinggi penghambaan, yaitu ihsan. Tetapi maaf saya lupa bunyi haditsnya.”
“Ente saya kira sudah mendapat suatu pemahaman yang baik. Terimakasih, Him,” kata Mami Seni menghargai
“Hadits yang Him maksud barangkali hadits kedua yang dimuat dalam Arbain Nawawiyah. Hadits itu sangat panjang, diriwayatkan oleh salah satu Imam hadits besar, Imam Muslim. Dalam sebuah hadits yang sangat popular tersebut dijelaskan level keberagamaan itu tiga: islam, iman, dan  ihsan. Apa itu ihsan?—kita langsung saja to the point. Ihsan adalah anta’budallâh ka-annaka tarâhû fa-inlam takun tarâhû fainnahû yarâka. Anda menyembah Allah seolah-olah Anda melihatnya. Kalaupun tidak dapat melihat-Nya, maka Dia pasti melihat Anda.
“Secara implikasi, ketika shalat seseorang tidak sah kecuali dengan membaca al-Fatihah, maka itu juga bisa berari bahwa shalat seseorang bisa jadi tidak sah jika shalat itu tidak dapat membawanya merasa berhadap-hdapan dengan Tuhan. Ini mungkin statemen yang berlebihan tapi demikianlah seharusnya kita melaksanakan shalat. Ketika membaca Al-Fatihah yang menjadi inti shalat itu, maka kita mestinya menyadari sedang diarahkan untuk merasakan sebuah dialog langsung dengan Yang Memenuhi Segala Hajat Hidup Manusia.” Mamik Seni sejenak diam, sambil mengusap kedua pinggiran bibirnya.
“Tidak ada yang memberi komentar?” beliau memancing. Tetapi nampaknya para jamaah tenggelam dalam pikiran masing-masing. Mungkia mereka memikirkan shalatnya selama ini dan merasakan betapa hampir tidak pernah menyadari itu.
“Baik kalau tidak ada. Kita lanjutkan satu hal lagi, yaitu apa yang digambarkan oleh Ali Unal, seorang ulama Turki, sebagai shalat atau ibadah yang membebaskan. Dalam tafsirnya dalam bahasa Inggris[2] yang memanga sengaja beliau peruntukkan juga bagi pembaca Barat itu, dijelaskan bahwa ibadah atau penyembahan itu bukan berkonotasi perbudakan, seperti kritik sebagaian orang Barat. Menurut pengkeriti itu kata ‘ibâdah itu seakar dengan kata ‘abd (budak). Maka penyembahan menurut mereka merupakan pelanggaran terhadap hak azazi manusia. Dalam konsep ibadah, menurut mereka, manusia diumpakan sebagai budak dan Tuhan adalah pemilik yang memperlakukan manusia sebagai budak. Maka di sana tidak ada kebebasan, tak ada kemerdekaan. Yang ada hanya kesewenang-wenangan.
“Ali Unal menjelaskan bahwa ibadah dalam Islam justru untuk membebaskan. Ibadah membebaskan manusia dari berbagai bentuk penghambaan yang palsu. Ibadah membuat manusia sama tinggi dan sama-sama bermartabat. ‘Ibâdah atau penyembahan dalam konsep Islam adalah satu-satunya media menuju keagungan dan kebebasan manusia yang sebenarnya. Tidak ada orang orang yang lebih besar dari orang lain keitka menjadi seorang hamba Tuhan. Kerena itu tidak ada yang berhak disembah diagung-agungkan bak seorang Dewa. Tidak seorang Nabi seperti Muhammad SAW. Setiap ciptaan, apakah dia seorang Nabi atau manusia biasa, tidak ada yang boleh disembah. Kewajiban shalat lima waktu dan haji adalah demonstrasi yang sangat jelas tentang ini.
“Do you understand what I am talking about?” Mamik Seni coba mencandai jamaah sambil tersenyum. Ia tahu beberapa anak muda yang ikut hadir pada tadarusan kali ini adalah pedagang cendramata di kawasan pantai Senggigi. Tentunya mereka terbisa bahasa Inggris, meskipun sekedar untuk tahu cara menjelaskan barang mereka kepada para pengunjung manca negara.
“Yes, Sir. We understand what you are talkin about.” Beberapa menjawab serempak. Tawapun riuh mengisi beranda masjid.
“Baik karena karena sudan siang, kita langsung saja. Nah sekarang, terkait dengan kehidupan sehari-hari, baik sebagai buruh, guru, pegawai, kira-kira apa pelajaran yang dapat kita ambil?.” Mamik Seni mengajak semua berfikir.
“Mamiq, tiang kira tiga poin di atas sangat penting,” kata Tua[3] Nyelan[4], salah seorang yang baru ikut tadarusan, “dan itu terkait dengan shalat yang kami lakukan setiap hari. Saya merasa bodoh sekali hari ini. Terima kasih atas penjelasan Mamiq, dan mohon izin bisa ikut bergabung terus dalam forum tadarusan ini.”
“Syukran wa tafaddal. Terimakasih dan silahkan bergabung, dengan senang hati.”
“Kalu menurut saya, Mamiq,” kata Nakir sambil memicingkan mata dan merapatkan kedua bibirnya. “Tiga aspek di atas menekan satu hal yaitu kehadiran kita dihadapan Allah dengan seluruh jiwa danraga. Seseorang harus menghadirkan dirinya ketika mengerjakan sesuatu, tidak hanya shalat. Kehadiran di sini berarti fokus dan sepenuh hati. Syirk itu bahka jika sedikit saja ada kecendrungan kepada selain Allah, dan itu akan merusak. Sama dengan orang yang mengerjakan sesutu kalau pikirannya melayang maka itu bisa merusak pekerjaannya. Bentuknya bisa jadi hasilnya tidak maksimal, atau bahkan salah sama sekali.
“Kata Nabi, syirk itu ibarat semut hitam pada pada malam yang gelap. Artinya syirk itu begitu halus dan seringkali tidak terasa. Karena tidak terasa maka seseorang sesungguhnya mudah sekali jatuh pada syirk. Sama seperti mudahnya orang tidak menghadirkan diri pada pekerjaannya, atau pada apa saja yang dikerjakan. Maka menghadirkan diri, bekerja dengan sepenuh hati sangat penting. Menurut saya, satu-satunya jalan untuk menjaga diri dari ketergelinciran adalah memastikan bahwa kita menghadirkan diri sepenuhnya, fokus pada satu tujuan. Dan itulah cara yang diajarkan oleh ayat kelima al-Fatihah ini. Iyyaka, iyyaka, HANYA kepadamu, HANYA untukmu.”
Mamik Seni dan jamaah yang lain terkesima. Nampaknya sudut pandang Him dapat diterima dan sangat khas.
“I got it,” lagi-lagi Mamik Seni memakai Bahasa Inggris, tapi kali ini dengan mimik serius.
“Dengan fokus dan sepenuh hati seseorang dapat terhidar dari syirk. Iini saya kira satu pemikiran cemerlang. Tentu syrik dapat diartikan kekacaun karena terlalu banyak hal,” katanya memberi pujian. “Kesepenuh hatian dapat menegaskan tauhid kepada Allah dan menegasikan semua selain-Nya. Dengan kesepenuhan hati seseorang akan merasakan kehadairan yang sesungguhnya. Karena sepenuh hati makan Anda dapat menikmati benar dialog yang sedang Anda lakukan. Kehadiran sepenuh jiwa membuat Anda benar-benar sedang berhadapan langsung, berbicara langsung.Tanpa kesepenuh jiwa sama saja anda tidak hadir walaupun secara fisik datang. Karena itu banyak orang yang shalat tapi sesungguhnya tidak shalat, karena fisiknya shalat tapi hati dan pikirannya tidak.
“Jika kita kaitkan dengan poin ketiga seperti yang dijelaskan Syikh Ali Unal tadi, kesepenuh hatian juga bisa membuat kita terbebaskan dan penuh percaya diri. Maka, menarik membawa konsep kehadiran seluruh diri ini dalam kehidpuan sehari-hari.”
Jamaah menunggu apa yang akan disampaikan Mamig Seni.
“Sejarah orang sukses,” katanya melanjutkan, “adalah sejarah tentang kerja yang tulus dan sepenuh hati. Kerja sepenuh hati berarti fokus, membidik target. Sama dengan ungkapan iyyaka (HANYA kepada-MU), sebagai penyataan penghadiran diri secara menyeluruh untuk memperuntukkan penyembahan hanya kepada Allah. Orang yang berkeja sepenuh hati, fokus, adalah orang-orang yang bekerja dengan ikhlas. Dan kita tahun ikhlas adalah spirit yang menghidupkan dan memberi kekuatan kepada keabadian sebuah karya.
“Para Nabi adalah mereka yang bekerja sepenuh hati, tulus dan ikhlas. Dengan bekerja sepenuh hati mereka mendapatkan kekuatan dan daya tahan. Maka kita lihat mereka dapat mengatasi setiap rintangan seberat apapun. Mereka mampu menembus gunug batu, menyeberangi laut pasir berbadai dalam mengemban tugasnya.
“Kerja sepenuh hati adalah hukum Tuhan yang berlaku umum, bagi siapa saja. Siapapun bekerja dengan sepenuh hati maka akan lebih dekat, bahkan sangat dekat, kepada kesuksesan. Sedikit kita kaitkan dengan tadarusan ketiga, tentang ayat kedua al-Fatihah, terutama menyangkut alam semesta. Alam semesta itu kan hidup, mampu merespon. Kegiatan, usaha-usaha yang kita lakukan juga termasuk alam semesta. Mereka juga merespon. Nah ketikda kita membangun hubungan positif dengannya, melalui fokus dan kehadiran sepenuh hati, maka pekerjaan atau usaha-usaha itu akan membuat dirinya mudah bagi kita. Karenanya akan lebih mudah menyelesaikannya dengan baik dan dengan hasil yang memuaskan.
“Jika hanya dengan mengkhususkan penyembahan hanya kepada Allah dalam sebuah ibadah akan menjamin kebehasilan (diterima), demikian juga ketika kita bekerja. Hanya dengan menghadirkan diri sepenuhnya, bekerja dengan seluruh potensi kita, hadir dengan seluruh jiwa dan raga kita maka kesuksesan dan kebahagian dapat kita raih.
Mereka tidak diminta kecuali (hal-hal berikut): menyembah Allah dengan ketundukan yang total dan keimanan yang murni, mendirikan shalat (dengan sebenar-benarnya) dan mengeluarkan zakat. Itulah cara beragama yang lurus dan benar. (al-Bayyinan [98]: 5)”
Jamaah semakin tenggelam dalam kehangantan diskusi. Sebagian mengubah posisi duduknya dari yang tadi santai kemudian menjulurkan badan dan kepalanya ke depan sambil meletakkan keduan tangan menutupi dagu, mulut dan hidung.
“Ada hal lain yang tidak kalah pentingnya yang di singgung ayat ini, Mamik,” kata Him memecah kesunyian. Ia menggeser duduknya agak ke depan. “Ayat ini juga mengajari kita keikhlasan, yaitu dengan meniatkannya sebagai ibadah. Fokus menghendaki ketidakpedulian kecuali kepada tujuan utama. Hanya keikhlasan yang membuat kita tidak peduli pada halangan, cemoohan dan kesulitan-kesulitan yang dihadapi. Terakhir ayat ini juga menegaskan bahwa kita tidak bisa bekerja sendiri, kita butuh pertolongan Allah, dan tentunya pertolongan Allah itu datang dari hamba-hambanya. Disinilah kerjasama, hubungan baik, diperlukan. Terimakasih, Mamiq.”
“Niatkan semuanya ibadah, bagus sekali itu,” jawab Mamik Seni akur. “Iyyâka na’budu, hanya kepada-Mu yang Allah aku mempersembahkan hidup ini. Ini artinya semua didasarkan niat lillâhi ta’âla. Lalu dalam proses itu semua selalulah memohon pertolongan. Berdoalah, mintalah pertolongan kepda-Nya, juga kepada hamba-hamba-Nya.”
“Jadi kalo boleh saya simpulkan, Mamik,” kata Him memberanikan diri, “Pintu kelima kesuksuksesan adalah bekerja dengan fokus, sepenuh hati, ikhlas dengan niat ibadah dan memastikan dukungan dari orang lain.
Mamik Seni mengiyakan pandangan Him dan lalu menutup tadarusan pagi ini. Jamaah nampaknya merasakan hal yang bebeda pagi ini. Banyak dari mereka yang juga miminta izin bisa bergabung pada tadarusan berikutnya, seperti Nyelan.[]

Masjid Jakarta Islamic Center Tanjung Priok - Masjid Muhajirun Griya Satwika, Ciputat, 26-27 Ramadhan 1434/15-16 Agustus 2012.


[1] Salik adalah istilah bagi kaum sufi penempuh atau pencari jalan kearifan.
[2] Judulnya The Quran with Annotated Interpretation in Modern English, terbitan Light, New Jersey.
[3] Tua’ adalah panggilan penghormatan untuk orang yang lebih tua. Arti sebenarnya adalah paman, tapi dalam keseharian bisa berfungsi seperti Aa’ dalam bahasa Sunda, atau mas dalam bahasa Jawa.
[4] Nyelan, adalah panggilan unik lain di Lombok. Nama sebenarnya adalah Sahlan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar