Hanya untuk-Mu kami persembahkan hidup ini
Dan hanya dari-Mu kami mengharap pertolongan.
--Terjemah Maknawiyah,
al-Fatihah/1: 5
Kata Kunci: Persembahan,
mengharap pertolongan
Semalam hujan turun lebat dan
menyisakan gerimis pagi ini. Bunga-bunga di taman masjid merekah seperti salik[1]
yang antusias menyambut dhuha. Pepohonan hijau berseri, bersinar bagai
manik-manik zamrud. Di atas daun-daun pepohonan itu butir-butir gerimis jatuh
bertalu bersama gerakan ritmis tasbih para jamaah yang masih tenggelam dalam
wiridan. Dan kesejukan pun menyelinap masuk ke masjid utama kampung Tinggar,
At-Taubah.
Mamiq Seni, dan
kawan-kawannya memutuskan untuk mengadakan tadarusan di masjid At-Taubah pagi
ini, tidak di Al-Amin seperti biasanya. Kondisi ini membawa berkah, karena
jamaah subuh yang lain, yang juga tidak bisa pulang langsung, akhirnya ikut bergabung
dalam tadarusan.
“Rahasia Quran adalah
al-Fatihah, rahasia al-Fatihah adalah ayat iyyaka
na’budu wa iyyaka nasta’in.” Tanpa basa-basi panjang Mamik Seni memulai
tadarusan dengan mengutip kata-kata yang dinisbatkan kepada sebagian ulama
salaf. “Ayat ini menghantarkan seseorang untuk membebaskan diri dari syirk dan
mengajaknya untuk fokus—mempercayakan urusannya sepenuhnya kepada Allah SWT. Ini
senada dengan penjelasan surat Hud ayat 123: ‘Maka sembahlah Allah dan
percayakanlah urusanmu kepada-Nya. Allah sekali-kali tidak menyia-nyiakan amal-usahamu,
sekecil apapun.’
“Membebaskan dari syirk, tubri`u minans syirk, adalah pelepasan
diri dari tujuan yang banyak—syirk, kepada yang satu—tauhid: hanya dan untuk
Allah. Ada negasi dan afirmasi, an-nafyu
wal itsbat, dalam ayat ini. Ia
meminta kita menegasikan banyak tujuan, banyak sesembahan, lalu menegaskan satu
tujuan, satu Tuhan—Allah ‘azza wa jalla.”
“Hal kedua perlu diperhatikan
terkait dengan masalah bahasa dalam ayat ini adalah terjadinya perubahan
struktur dari orang ketiga ke orang kedua. Pada ayat pertama sampai keempat
dhamir yang digunakan adalah orang ketiga , dia (huwa). Sedang pada ayat kelima dan seterusnya dengan orang kedua,
enkau (ka). Mengapa? Ibnu Katsir
menjelaskan, ketika seorang hamba memuji Allah—dengan orang ketiga—maka ia seolah-olah
berada posisi jauh lalu mendekat. Ketika sudah dekat maka seolah-olah dia dalam
posisi bertatapan, hadir di hadapan Allah ta’ala.
Maka dia tidak lagi mengatakan Dia tetapi Enkau. Maka kalimatnya menjadi ‘hanya
kepada Engkau (iyyaka)’, bukan ‘hanya
kepada-Nya (iyyahu).’”
“Pada titik ini…,” sela Him
sedikit ragu. Pecinya dilepas sambil menggaruk bagian belakang kupingnya. “Pada
titik ini, sesorang sebenarnya seolah sedang berdialog langsung dengan Allah
SWT. Saya ingat hadits Nabi SAW: Innal mushalliyâ yunajî rabbahû. Orang yang sedang shalat
itu sedang berbisik, bermunajat, sedang mengadu langsung kepada Tuhannya. Maka…,
maka orang yang shalat mestinya menyadari bahwa mereka sedang dalam kesempatan
emas untuk mencapai drajat tertinggi penghambaan, yaitu ihsan. Tetapi maaf saya
lupa bunyi haditsnya.”
“Ente saya kira sudah
mendapat suatu pemahaman yang baik. Terimakasih, Him,” kata Mami Seni
menghargai
“Hadits yang Him maksud
barangkali hadits kedua yang dimuat dalam Arbain Nawawiyah. Hadits itu sangat
panjang, diriwayatkan oleh salah satu Imam hadits besar, Imam Muslim. Dalam
sebuah hadits yang sangat popular tersebut dijelaskan level keberagamaan itu
tiga: islam, iman, dan ihsan. Apa itu
ihsan?—kita langsung saja to the point. Ihsan adalah anta’budallâh ka-annaka tarâhû fa-inlam takun tarâhû fainnahû yarâka. Anda menyembah Allah seolah-olah Anda
melihatnya. Kalaupun tidak dapat melihat-Nya, maka Dia pasti melihat Anda.
“Secara implikasi, ketika shalat seseorang tidak sah
kecuali dengan membaca al-Fatihah, maka itu juga bisa berari bahwa shalat
seseorang bisa jadi tidak sah jika shalat itu tidak dapat membawanya merasa
berhadap-hdapan dengan Tuhan. Ini mungkin statemen yang berlebihan tapi demikianlah
seharusnya kita melaksanakan shalat. Ketika membaca Al-Fatihah yang menjadi
inti shalat itu, maka kita mestinya menyadari sedang diarahkan untuk merasakan
sebuah dialog langsung dengan Yang Memenuhi Segala Hajat Hidup Manusia.” Mamik
Seni sejenak diam, sambil mengusap kedua pinggiran bibirnya.
“Tidak ada yang memberi komentar?” beliau memancing.
Tetapi nampaknya para jamaah tenggelam dalam pikiran masing-masing. Mungkia
mereka memikirkan shalatnya selama ini dan merasakan betapa hampir tidak pernah
menyadari itu.
“Baik kalau tidak ada. Kita lanjutkan satu hal lagi,
yaitu apa yang digambarkan oleh Ali Unal, seorang ulama Turki, sebagai shalat
atau ibadah yang membebaskan. Dalam tafsirnya dalam bahasa Inggris[2]
yang memanga sengaja beliau peruntukkan juga bagi pembaca Barat itu, dijelaskan
bahwa ibadah atau penyembahan itu bukan berkonotasi perbudakan, seperti kritik
sebagaian orang Barat. Menurut pengkeriti itu kata ‘ibâdah itu seakar dengan kata ‘abd (budak). Maka penyembahan menurut
mereka merupakan pelanggaran terhadap hak azazi manusia. Dalam konsep ibadah,
menurut mereka, manusia diumpakan sebagai budak dan Tuhan adalah pemilik yang
memperlakukan manusia sebagai budak. Maka di sana tidak ada kebebasan, tak ada
kemerdekaan. Yang ada hanya kesewenang-wenangan.
“Ali Unal menjelaskan bahwa ibadah dalam Islam justru
untuk membebaskan. Ibadah membebaskan manusia dari berbagai bentuk penghambaan
yang palsu. Ibadah membuat manusia sama tinggi dan sama-sama bermartabat. ‘Ibâdah atau penyembahan dalam konsep Islam
adalah satu-satunya media menuju keagungan dan kebebasan manusia yang
sebenarnya. Tidak ada orang orang yang lebih besar dari orang lain keitka
menjadi seorang hamba Tuhan. Kerena itu tidak ada yang berhak disembah
diagung-agungkan bak seorang Dewa. Tidak seorang Nabi seperti Muhammad SAW.
Setiap ciptaan, apakah dia seorang Nabi atau manusia biasa, tidak ada yang
boleh disembah. Kewajiban shalat lima waktu dan haji adalah demonstrasi yang sangat
jelas tentang ini.
“Do you understand what I am talking about?” Mamik Seni
coba mencandai jamaah sambil tersenyum. Ia tahu beberapa anak muda yang ikut
hadir pada tadarusan kali ini adalah pedagang cendramata di kawasan pantai
Senggigi. Tentunya mereka terbisa bahasa Inggris, meskipun sekedar untuk tahu
cara menjelaskan barang mereka kepada para pengunjung manca negara.
“Yes, Sir. We understand what you are talkin about.”
Beberapa menjawab serempak. Tawapun riuh mengisi beranda masjid.
“Baik karena karena sudan siang, kita langsung saja. Nah
sekarang, terkait dengan kehidupan sehari-hari, baik sebagai buruh, guru,
pegawai, kira-kira apa pelajaran yang dapat kita ambil?.” Mamik Seni mengajak
semua berfikir.
“Mamiq, tiang kira tiga poin di atas sangat penting,”
kata Tua’[3]
Nyelan[4],
salah seorang yang baru ikut tadarusan, “dan itu terkait dengan shalat yang
kami lakukan setiap hari. Saya merasa bodoh sekali hari ini. Terima kasih atas
penjelasan Mamiq, dan mohon izin bisa ikut bergabung terus dalam forum
tadarusan ini.”
“Syukran wa tafaddal. Terimakasih dan silahkan bergabung,
dengan senang hati.”
“Kalu menurut saya, Mamiq,” kata Nakir sambil memicingkan
mata dan merapatkan kedua bibirnya. “Tiga aspek di atas menekan satu hal yaitu
kehadiran kita dihadapan Allah dengan seluruh jiwa danraga. Seseorang harus
menghadirkan dirinya ketika mengerjakan sesuatu, tidak hanya shalat. Kehadiran di
sini berarti fokus dan sepenuh hati. Syirk itu bahka jika sedikit saja ada
kecendrungan kepada selain Allah, dan itu akan merusak. Sama dengan orang yang
mengerjakan sesutu kalau pikirannya melayang maka itu bisa merusak
pekerjaannya. Bentuknya bisa jadi hasilnya tidak maksimal, atau bahkan salah
sama sekali.
“Kata Nabi, syirk itu ibarat semut hitam pada pada malam
yang gelap. Artinya syirk itu begitu halus dan seringkali tidak terasa. Karena
tidak terasa maka seseorang sesungguhnya mudah sekali jatuh pada syirk. Sama
seperti mudahnya orang tidak menghadirkan diri pada pekerjaannya, atau pada apa
saja yang dikerjakan. Maka menghadirkan diri, bekerja dengan sepenuh hati
sangat penting. Menurut saya, satu-satunya jalan untuk menjaga diri dari
ketergelinciran adalah memastikan bahwa kita menghadirkan diri sepenuhnya, fokus
pada satu tujuan. Dan itulah cara yang diajarkan oleh ayat kelima al-Fatihah
ini. Iyyaka, iyyaka, HANYA kepadamu, HANYA untukmu.”
Mamik Seni dan jamaah yang lain terkesima. Nampaknya
sudut pandang Him dapat diterima dan sangat khas.
“I got it,” lagi-lagi Mamik Seni memakai Bahasa Inggris,
tapi kali ini dengan mimik serius.
“Dengan fokus dan sepenuh hati seseorang dapat terhidar
dari syirk. Iini saya kira satu
pemikiran cemerlang. Tentu syrik dapat diartikan kekacaun karena terlalu banyak
hal,” katanya memberi pujian. “Kesepenuh hatian dapat menegaskan tauhid kepada
Allah dan menegasikan semua selain-Nya. Dengan kesepenuhan hati seseorang akan
merasakan kehadairan yang sesungguhnya. Karena sepenuh hati makan Anda dapat
menikmati benar dialog yang sedang Anda lakukan. Kehadiran sepenuh jiwa membuat
Anda benar-benar sedang berhadapan langsung, berbicara langsung.Tanpa kesepenuh
jiwa sama saja anda tidak hadir walaupun secara fisik datang. Karena itu banyak
orang yang shalat tapi sesungguhnya tidak shalat, karena fisiknya shalat tapi
hati dan pikirannya tidak.
“Jika kita kaitkan dengan poin ketiga seperti yang
dijelaskan Syikh Ali Unal tadi, kesepenuh hatian juga bisa membuat kita
terbebaskan dan penuh percaya diri. Maka, menarik membawa konsep kehadiran
seluruh diri ini dalam kehidpuan sehari-hari.”
Jamaah menunggu apa yang akan disampaikan Mamig Seni.
“Sejarah orang sukses,” katanya melanjutkan, “adalah
sejarah tentang kerja yang tulus dan sepenuh hati. Kerja sepenuh hati berarti
fokus, membidik target. Sama dengan ungkapan iyyaka (HANYA kepada-MU), sebagai penyataan penghadiran diri secara
menyeluruh untuk memperuntukkan penyembahan hanya kepada Allah. Orang yang
berkeja sepenuh hati, fokus, adalah orang-orang yang bekerja dengan ikhlas. Dan
kita tahun ikhlas adalah spirit yang menghidupkan dan memberi kekuatan kepada keabadian
sebuah karya.
“Para Nabi adalah mereka yang bekerja sepenuh hati, tulus
dan ikhlas. Dengan bekerja sepenuh hati mereka mendapatkan kekuatan dan daya
tahan. Maka kita lihat mereka dapat mengatasi setiap rintangan seberat apapun.
Mereka mampu menembus gunug batu, menyeberangi laut pasir berbadai dalam
mengemban tugasnya.
“Kerja sepenuh hati adalah hukum Tuhan yang berlaku umum,
bagi siapa saja. Siapapun bekerja dengan sepenuh hati maka akan lebih dekat,
bahkan sangat dekat, kepada kesuksesan. Sedikit kita kaitkan dengan tadarusan
ketiga, tentang ayat kedua al-Fatihah, terutama menyangkut alam semesta. Alam
semesta itu kan hidup, mampu merespon. Kegiatan, usaha-usaha yang kita lakukan
juga termasuk alam semesta. Mereka juga merespon. Nah ketikda kita membangun
hubungan positif dengannya, melalui fokus dan kehadiran sepenuh hati, maka
pekerjaan atau usaha-usaha itu akan membuat dirinya mudah bagi kita. Karenanya
akan lebih mudah menyelesaikannya dengan baik dan dengan hasil yang memuaskan.
“Jika hanya dengan mengkhususkan penyembahan hanya kepada
Allah dalam sebuah ibadah akan menjamin kebehasilan (diterima), demikian juga
ketika kita bekerja. Hanya dengan menghadirkan diri sepenuhnya, bekerja dengan
seluruh potensi kita, hadir dengan seluruh jiwa dan raga kita maka kesuksesan
dan kebahagian dapat kita raih.
Mereka tidak diminta kecuali
(hal-hal berikut): menyembah Allah dengan ketundukan yang total dan keimanan
yang murni, mendirikan shalat (dengan sebenar-benarnya) dan mengeluarkan zakat.
Itulah cara beragama yang lurus dan benar. (al-Bayyinan [98]: 5)”
Jamaah semakin tenggelam dalam kehangantan diskusi.
Sebagian mengubah posisi duduknya dari yang tadi santai kemudian menjulurkan
badan dan kepalanya ke depan sambil meletakkan keduan tangan menutupi dagu,
mulut dan hidung.
“Ada hal lain yang tidak kalah pentingnya yang di
singgung ayat ini, Mamik,” kata Him memecah kesunyian. Ia menggeser duduknya agak
ke depan. “Ayat ini juga mengajari kita keikhlasan, yaitu dengan
meniatkannya sebagai ibadah. Fokus menghendaki ketidakpedulian kecuali kepada
tujuan utama. Hanya keikhlasan yang membuat kita tidak peduli pada halangan,
cemoohan dan kesulitan-kesulitan yang dihadapi. Terakhir ayat ini juga
menegaskan bahwa kita tidak bisa bekerja sendiri, kita butuh pertolongan Allah,
dan tentunya pertolongan Allah itu datang dari hamba-hambanya. Disinilah
kerjasama, hubungan baik, diperlukan. Terimakasih, Mamiq.”
“Niatkan semuanya
ibadah, bagus sekali itu,” jawab Mamik Seni akur. “Iyyâka na’budu, hanya kepada-Mu yang Allah aku mempersembahkan
hidup ini. Ini artinya semua didasarkan niat lillâhi ta’âla. Lalu dalam proses itu semua selalulah memohon
pertolongan. Berdoalah, mintalah pertolongan kepda-Nya, juga kepada
hamba-hamba-Nya.”
“Jadi kalo boleh saya
simpulkan, Mamik,” kata Him memberanikan diri, “Pintu kelima
kesuksuksesan adalah bekerja dengan fokus, sepenuh hati, ikhlas dengan niat
ibadah dan memastikan dukungan dari orang lain.”
Mamik Seni mengiyakan
pandangan Him dan lalu menutup tadarusan pagi ini. Jamaah nampaknya merasakan
hal yang bebeda pagi ini. Banyak dari mereka yang juga miminta izin bisa
bergabung pada tadarusan berikutnya, seperti Nyelan.[]
Masjid Jakarta Islamic Center Tanjung Priok - Masjid Muhajirun Griya Satwika, Ciputat, 26-27 Ramadhan 1434/15-16 Agustus 2012.
[1]
Salik adalah istilah bagi kaum sufi penempuh atau pencari jalan kearifan.
[2]
Judulnya The Quran with Annotated
Interpretation in Modern English, terbitan Light, New Jersey.
[3]
Tua’ adalah panggilan penghormatan untuk orang yang lebih tua. Arti sebenarnya adalah
paman, tapi dalam keseharian bisa berfungsi seperti Aa’ dalam bahasa Sunda,
atau mas dalam bahasa Jawa.
[4]
Nyelan, adalah panggilan unik lain di Lombok. Nama sebenarnya adalah Sahlan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar