Kamis, 23 Agustus 2012

Alhamdulillah: Menjadikan Semuanya Bermakna (Pintu Kedua)


Segala puji dan terimakasih hanya untuk Allah—Pengembang, Pendidik, Pemelihara alam semesta.
--Terjemah Maknawiyah, al-Fatihah (1)/2.

Kata Kunci Puji, terimakasih, Allah

“Ungkapan terindah, kata Rasulullah seperti direkam oleh Imam Tirmidzi, adalah la ilaha illallah dan doa terbaik adalah Alhamdulillah.” Mamik Seni mulai menghangatkan pagi dengan tadarusan, seperti telah dilaksanakan tiga hari terakhir. “Beberapa hadits dan keterangan mufassir menjelaskan bahwa al-hamdu lillah adalah ungkapan pujian dan terimakasih. Memuji Allah berarti mensyukuri-Nya secara tulus dan murni,” katanya lagi meniru Abu Ja’far Ibnu Jarir. “Al-hamdu lillah atau memuji Allah juga merupakan cara terbaik berdoa.”

“Memuji memang cara terbaik meminta,” kata Amang menanggapi. “Seorang anak yang bandel sekalipun akan luluh bila diminta melakukan sesuatu dengan pujian. Ketika adik saya tidak mau belajar maka saya bilang, ‘Dede kan anak yang jago. Makannya banyak, apalagi belajarnya—pasti mau. Kan anak yang rajin.’ Nah setelah itu ia biasanya takluk dan mau belajar.”

“Ibnu Katsir menjelasakan,” lanjut Mamik Seni tanpa mengomentari tanggapan Amang, “tambahan al (alif dan lam) pada kata hamd menunjukkan pujian atau terimakasih dalam segala ungkapan dan bentuknya. Maka segala jenis pujian yang indah, dalam bahasa apapun, layak disematkan kepada Allah. ‘Ya Allah, bagi-Mu segala jenis pujian. Semuanya milik-Mu. Segala jenis kebaikan ada pada genggaman-Mu. Semua kembali kepada-Mu,’ sabda Nabi dalam sebuah pujian kepada Allah.

“Suatu kali Umar berkata kepada Ali, ‘Kita sudah memahmi makna la ilaha illallah, subhanallah dan allahu akbar. Bagaimana dengan alhamdulillah?’ Ali menjawab, ‘Alhamdulillah adalah penyataan yang Allah senang diungkapkan untuk diri-Nya, Allah suka disematkan pada diri-Nya dan senang bila pernyataan ini diulang-ulangi.’”

“Imam Ibnu Majah mengisahkan berdasarkan riwayat dari Rasulullah. Seorang hamba Allah berkata, ‘Ya Tuhanku, bagimu segala puji yang sesuai untuk keagungan wajah-Mu yang Maha Mulia dan kebesaran kekusaan-Mu.’

“Dua malaikat kebingungan. Mereka tidak mengetahui bagaiman cara mencatat kebaikan atas ucapan hamba tersebut. Lalu mereka bertanya kepada Allah. ‘Wahai Tuhan kami,’ kata dua Malaikat itu, ‘sungguh seorang hamba telah mengatakan suatu ungkapan dan kami tidak mengetahui bagaimana cara mencatat kebaikan dari kata-katanya itu.’

“’Apa yang dikatakan hamba-Ku itu?,’ tanya Allah, meskipun Dia sungguh sangat tahu apa yang dikatakan hamba-Nya itu.’

“Hamba itu berkata, ‘Ya Tuhanku, bagimu segala puji yang sesuai untuk keagungan wajah-Mu yang Maha Mulia dan kebesaran kekusaan-Mu.’

“Lalu Allah memerintahkah kedua malaikat itu, ‘Tulislah seperti apa yang dikatakan hamba-Ku itu sampai ia menemui-Ku kelak, dan Aku sendiri yang akan menganugrahinya balasan secara langsung.’”

Suasana hening sejenak, lalu Mamik Seni melanjutkan kata-katanya.

“Apa yang dapat kita ambil dari penjelasan di atas?” Mami Seni memancing pikiran.

“Saya sekarang faham,” kata Ece memulai dialog. “Alhamdulillah adalah sebuah penyataan kesaksian bahwa segala jenis pujian hanya pantas untuk Allah. Dialah satu-satunya yang berhak dipuji. Ketika seseorang memuji selain-Nya, sesungguhnya dia sedang memuji-Nya. Karena Dialah yang Maha, yang pada-Nya segala pujian berawal dan berakhir. Tetapi, Mamik, apa sesungguhnya misi di balik membari pujian ini. Bukankah Allah tidak butuh?”

“Ece yang baik,” jawab Mamik Seni dengan sesungging senyuman, “jika untuk Allah yang ada hanya pujian, maka ini berarti pengakuan atas keserba-baikan dan keserba-indahahan Allah pada setiap cipta-Nya. ‘Allah itu indah dan menyenangi keindahan,’ sabda Nabi SAW.

“Dan, ini yang penting, membawa filosofi alhamdulillah dalam sikap hidup sehari-hari membuat kita dapat menerima kenyataan hidup, menjalaninya dengan lebih ringan dan membahagiakan.

“Alhamdulillah mengajari kita untuk meyakini bahwa apapun yang ada dan terjadi di dunia adalah sesuatu yang baik dan indah. Tak satupun yang sia-sia. Mâ khalaqta hadza bâthila. Tak satupun yang Allah ciptakan tak bemakna, cacat, sia-sia. Semua memiliki kebermaknaannya, fungsinya dalam hidup. Bahkan kehadiran setan pun memiliki sisi kebermaknaannya sendiri.”

Nakir, Him dan Ece mengernyitkan dahi, penasaran akan penjelasan selanjutnya.

“Seperti kegagalan yang mengintai, setan adalah ancaman bagi usaha kita menuju sukses. Adanya kemungkinan gagal membuat kita hati-hati. Setuju, kan? Kemungkinan gagal memaksa kita untuk lebih cermat dan mempersiapkan sebaik-baiknya segala hal yang membawa kepada kesuksesan.

“Kegagalan yang mengintai membuat kita tidak pernah merasa puas dengan apa yang telah kita capai. Ia mendorong seseorang ingin terus dan terus memperbaiki diri, meningkatakan kualtias yang dimiliki. Ia adalah penyeimbang antara kepuasan dan keterjagaan akan hari-hari yang masih panjang dengan berbagai kemungkinannya.”

Him dan Ece terkesima. Tapi baginya kata-kata di atas terlalu bagus hingga tak bisa langsung dipahami.

“Keberadaan setan membuat kita selalu awas,” Mamik Seni terus menikmati kata-katanya sendiri, “Ia memacu kita untuk terus membangun kesadaran diri menjadi manusia seutuhnya. Pada kenyataannya keberadaan setanlah yang membuat manusia sempurna. Bukankah kesempurnaan penciptaan manusia karena pada dirinya ada sisi malaikat dan setan?”  

Kalimat-kalimat Mamik Seni semakin menggoda intelektualitas. Ece dan Him pun semakin lama semakin bisa menangkap pesan yang ada. Sementara Amang sejak tadi sudah merasa nyambung dengan kata-kata Mamik.

“Malaikat bukanlah makhluk yang sempurna meskipun mereka selalu mensucikan dan memuji Allah,” kata Mamik Seni dengan suara yang datar namun bertenaga. “Setan tentu juga demikian—bahkan jauh dari kesempurnaan makhluk. Kesempurnaan manusia tidak pada kemampuannya menghilangkan sisi setan pada dirinya. Karena memang itu tidak akan pernah terjadi. Kesempurnaan manusia terletak pada kemampuan dia menjadi pengendali atas setan dirinya. Dan itulah jihad paling agung. ’Pada setiap manusia ada malaikat dan setan. Tetapi setan pada diriku telah aku tundukkan,’ kata Nabi SAW seperti diriwaayatkan oleh Imam Muslim.”

“Mungkin karena itu mengapa kita diminta menjauhi syetan, bukan membunuhnya,” Amang coba memberi pandangan. “Ini  barangkali sesuai dengan nama syetan itu sendiri yang berarti menjauh atau membuat jauh. Seseorang seharusnya mengambil jarak dari syetan, dan ibarat seorang petinju, mengambil jarak yang tepat akan memudahkannya mengontrol jalannya pertandingan. Seperti juga sebuah masalah: ketika kita berhasil mengambil jarak darinya maka kita tidak akan terbawa dan membuat kita memiliki kejernihan rasa dan pikir. Dengan begitu kita dapat mengambil keputusan yang mendekati kebenaran.”

“Itu sudut pandang yang menarik,” kata Mamik Seni, “Saya kira memang mengambil jarak itu penting. Orang bilang jangan terlalu ke kiri atau terlalu ke kanan. Tetaplah di tengah. Zero mind, katanya. Baiklah kita lanjutkan.

“Alhamdulillah juga mengajari kita untuk selalu berterima kasih. Apapun yang kita alami mengandung sisi baik buat diri kita atau setidaknya buat selain kita, atau dua-duanya. Setiap kejadian adalah mata rantai dari siklus kerja alam semesta. Karena itu pastilah ia mengandung sesuatu yang berguna. Karena ia berguna dan menguntungkan maka tiada lain kita harus berterimakasi kepada Allah, kepada diri kita sendiri dan kepada seluruh anggota alam semesta.

“Ya Allah berikan aku kemampuan untuk menyerap meski hanya setitik debu dari semesta kebaikan dan keindahan diri-Mu. Aku ingin menjadi khalifah-Mu, agen-Mu, yang dapat memelihara kehidupan bumi dan alam semesta ini dengan baik.”

Semua mengangkat tangan, lalu dengan khusyu’ mengusapkan tangannya kemuka. Amang agak beda, ia mengusap tangannya tidak hanya ke muka tapi juga ke dada, perut, tangan dan kakinya.
***

“Pagi ini terasa lebih panjang dari biasanya,” Mamim Seni melanjutkan. “Kita akan mengambil pelajaran lain dari penggalan kata rabbu al ‘âlamin dalam ayat ini. Jika semua ciptaan adalah terpuji, maka alhamdulillâh mengajari kita untuk selalu memberi pujian. Likullin maziyyah, setiap kita adalah istimewa sebagaimana setiap ciptaan memiliki kedudukan khusus.  Maka sepantasnyalah kita bangga terhadap diri sendiri, apapun kondisinya. Tentu, bangga di sini bukan untuk menyombongkan diri, tapi lebih untuk menumbuhkan kepercayaan diri dan rasa syukur.

“Hargailah diri sendiri karena Anda adalah ciptaan Allah yang paling sempurna. Hargai pula orang lain serta seluruh anggota makhluk—tanah, air, udara, api, tumbuh-tumbuhan, bebatuan, hewan dan apa saja—karena mereka adalah ciptaan Allah yang istimewa. Menghargai mereka, misalnya, dengan menjaga dan memeliharanya. Merusak mereka sama dengan merusak bumi tempat kita tinggal ini. Dan itu berarti kita telah dengan sengaja menjauhkan diri dari kasih-sayang Allah. ‘Allah tidak akan memberi cinta-Nya kepada para perusak.’” (5:64, 28:77)

“Kalian dengar kah kata-kata saya? Kok sepi?”

“Mamik, apa arti rabb al-alamin? Maksud saya apa hubungan antara al-hamdulillâh dengan rabbil âlamîn?” Nakir mencoba mencairkan suasana.

“Baik. Namun sebelumnya kita amati dulu makna rabb,” kata Mamik Seni. “Secara bahasa rabb seakar dengan tarbiyah (pendidikan), berarti mendidik atau mengembangkan sesuatu secara bertahap sampai mencapai kesempurnaan. Beberapa penerjemah Quran ke dalam bahasa Inggris memaknai rabb dengan Lord atau Master (Tuan), Sustainer (Penopang), Cherisher (Pengasuh), Creator (Pencipta), Educator (Pendidik), Nourisher (Pemelihara), atau Provider (Penyedia).

“Dalam konteks ayat 2 al-Fatihah ini, menurut al-Ashfahâni dalam kitab beliau Mufradât alfâdzil Qurân, rabb berarti tuan atau penguasa (al-mutawalliy) yang memastikan kemaslahatan makhluk.

“Sementera para mufasir atau penerjemah Indonesia umumnya memaknainya dengan Tuhan, meskipun dalam penjelasan tafsirnya, seperti Prof Quraish Shihab, mengungkapkan berbagai makna yang dikandung dalam kata rabb itu. Hal ini karena memang kata rabb ketika ia berdiri sendiri hanya bisa dikaitkan kepada Tuhan. Tetapi ketika dipasangkan dengan suatu kata, misalnya rabbulbait, maka ia berarti tuan atau pemilik (rumah).

“Ali Unal, seorang ulama Turki, menjelaskan tiga makna rabb yang saling berhubungan: (1) Pengasuh (Upbringer), Pelatih (Trainer), Penopang (Sustainer), Pemelihara (Nourisher); (2) Tuan (Lord) dan Yang Menguasai (Master); dan (3) Dia yang mengarahkan dan mengontrol (He Who directs and controls).

“Berarti terjemahan yangbanyak beredar selama ini salah, dong?” tanya Him resah.
“Salah sih tidak. Tetapi memang tidak mewakili apa makna di balik kata rabb itu sendiri,” jelas Mamik Seni. “Persoalan memang keterbatasan bahasa kita. Tetapi itu bisa diatasi dengan penjelasan tambahan seperti yang dilakukan Pak Quraish itu.

Baik, kita lanjutkan. Alamin sendiri berasal dari kata ‘âlam yang berarti tanda. Salah satu kata jadiannya adalah alâmah, yang maknanya sama dengan ayah—tanda. Arti lain dari âlam/âlamîn adalah alam semesta, sesuatu selain Tuhan, yang meliputi alam jasmani dan alam ruhani, fisik dan spiritual, yang berakal dan tidak.

“Secara singkat bisa katakan, sebagai Rabbul âlamîn, maka Allah adalah pencipta, pengasuh, pemerihara, penjamin, pengembang dari seluruh makhluk, baik yang tampak maupun tersembunyi, yang hidup atau yang selamat dianggap benda mati, sperti besi, bebatuan, air dan sebagainya.”

“Saya ingan satu penjelasan dari al-Farra dan Abu Ubaydah, bahwa âlamîn itu merujuk hanya kepada makhluk yang memiliki intelek,” Ece menyela.

“Ya, bener, ada pandangan seperti itu dari al-Farra dan Abu Ubaydah. Karena itu mereka kemudian membatasi makna âlamîn hanya pada manusia, jinn, malaikat dan syetan. Tetapi dengan merujuk beberapa ayat Quran kita dapati bahwa selain yang empat itu juga termasuk berakal, meskipun dengan tingkatan yang bebeda dengan manusia. Misalnya al-An’am ayat 38: ‘Binatang-binatang yang melata dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya tidak lain adalah bangsa seperti kalian juga.’ Dalam an-Naml ayat 18-19, Quran juga mengisahkan semut-semut yang berkomunikasi: ‘Hai semut-semut, masuklah ke  dalam sarang-sarang kaliran agar kalian tidak diinjak oleh Sulaiman dan tentaranya.’ Tentu ini bukan cerita fabel, tetapi benar adanya, karena Nabi Sulaiman—seperti digambarkan Quran—tersenyum bahkan tertawa mendengar kata-kata semut tersebut.

“Pada ayat selanjutnya bahkan Sulaiman digambarkan berdialog langsung dengan burung-burung, termasuk dengan burung Hud-hud yang menjadi informan dan penhubung penting antara beliau dengan kerajaan Saba.’

“Surat a-Baqarah ayat 74 lebih dramatis lagi. Batu-batu digambarkan jatuh, tapi bukan sekedar jatuh—ia jatuh mih khasyatillâh, karena takut kepada Allah. Jadi jelas sekali bahwa semua makhluk itu hidup dan berakal, cerdas, tentu dengan segala tingkatannya.”

“Ya, Mamik. Kita juga bisa melihat itu dari sikap Nabi,” Amang coba memberi pandangan. “Ketika memasuki Yatsrib (sekarang Madinah), orang-orang berebut menawarkan tempat tinggal bagi Nabi. Nabi tidak menolaknya namun dengan penuh simpatik berkata, ‘Biarkan untaku ini yang menentukan dimana tempat yang akan aku tinggali.’ Dan kita tahu kemudian Qashwa, unta Nabi itu, memilih bukan dari salah satu tempat yang ditawarkan, tetapi sebuah tempat yang sekarang menjadi magnet masjid Madinah al-Munawwarah—tempat beliau dimakamkan.”

“Sebagaimana kepada Qashwa, Nabi yang mulia prilakuknya itu juga memberi nama hampir semua yang dimiliki,” Amang menambahkan. “Imam Bukhari dalam beberapa riwayatnya menyebutkan Nabi memberi nama kuda beliau dengan Luhaif/Lukhaif (Si Peringkik), keledainya dinamai Ufair (Si Cemerlang), untanya yang lain dinamai Adhbaa (Si Lincah yang tak terkalahkan), kuda sahabat Abu Thalhah yang pernah beliau naiki dinamai Mandub (Si Pengarah), dan kuda sahabat Abu Qatadah dinamai Jaradah (Si Unggul).
“Bukan hanya kepada benda hidup, kepada benda yang selama ini disebut mati pun, seperti pakaian dan pedang, beliau beri nama. Imam at-Tirmidzi meriwayatkan, Nabi SAW memiliki lima buah pedang dan tujuh baju yang diberi nama. Pedang warisan ayahandanya dinamai Math-hur (Yang Bersih), dan pedang terkenal yang dihadiahkan kepada Ali bin Abi Thalib, dinamai Zulfikar, baju yang sering diriwayatkan dalam berbagai kisah digadaikan ke orang Yahudi diberi nama Dzatul Fadl (Pemilik Kemulian), dan baju yang beliau pakai pada perang Uhud dinamai Fiddah (Si Perisai).”
“Terima kasih, Amang, jazakallah,’ Mamik Seni menanggapi dengan takzim. “Ahli Tafsir kita, Prof Quraish Shihab, menjelaskan bahwa pemberian nama kepada binatang atau benda ini adalah salah satu wujud cinta Rasul kepada binatang dan benda-benda, sebagai wujud penyebaran  Islam yang rahmatan lil alamain. Nama, kata beliau, memberikan  kesan  adanya kepribadian, sedangkan kesan itu mengantarkan kepada kesadaran untuk bersahabat dengan pemilik nama atau yang dinamai.

“Imam Bukhari meriwayatkan beberapa kejadian yang tidak biasa. Salah satunya ini. ‘Dahulu,’ kata Imam Bukhari, ‘tiang-tiang masjid Nabawi dibuat dari batang pohon kurma. Saat berkhuthbah Nabi biasanya berdiri pada salah satu batang kurma tersebut. Ketika telah dibuatkan mimbar dan beliau berkhuthbah dengan berdiri di atasnya, kami mendengar suara dari batang kayu tersebut bagaikan suara unta yang hampir beranak. Nabi shallallahu 'alaihi wasallam lalu mendatanginya dan meletakkan tangannya pada batang kayu tersebut hingga akhirnya batang kayu itu terdiam (Bukhari, No. 3320).’

”Kisah-kisah di atas sekali lagi bukan isapan jempol, bukan pula fable. Semua adalah nyata dan diketahui secara lahir oleh para sahabat saat itu. Hal ini menunjukkan adanya kekuatan batin pada benda-benda itu. Dengan kata lain, benda-benda yang selama ini disebut benda mati sesungguhnya bukan hanya hidup tetapi juga memiliki kecerdasan.”

Alam adalah Saudara Kembar Manusia

“Amang, terima kasih sekali lagi,” kata Mamik Seni menunjukkan kekagumannya pada kawannya yang memang dilihatnya suka membaca ini. “Sebuah wawasan penting yang ente sampaikan tadi semoga menjadi landasan kita bersikap sopan kepada apa saja yang ada di sekitar kita. Itulah tugas terpenting kekhalifahan manusia di dunia ini. Dan jangan sampai umat Islam adalah pihak yang paling ketinggalan mewujudkan prinsip-prinsip ini.

“Baiklah kita kembali kepada pertanyaan Nakir tadi—tentang hubungan antara alhamdulillah dan rabbil alamin. Mengapa kita perlu memuji Allah? Karena Dia telah terlalu baik buat manusia dan alam semesta ini. Allah telah menciptakan suatu system yang membuat semua berjalan begitu sempurna. Kesempurnaan system itu bahkan dapat dilihat pada diri manusia itu sendiri.

“Temuan termodern tentang otak manusia, misalnya, menunjukkan bahwa dengan kapasitas otaknya manusia sungguh hampir bisa melakukan apa saja. Bahkan hanya dengan kekuatan 10 persen saja dari keseluruhan potensinya, manusia telah berhasil menciptakan kemajuan teknologi seperti yang kita rasakan saat ini. Bayangkan jika sisa yang 90 persen bisa termanfaatkan juga. Apa yang akan terjadi?

“Namun demikian bersamaan dengan kemajua sangat pesat dalam bidang teknologi ada dampak buruk yang tak terkontrol dan sangat mengerikan yang terjadi. Salah satu sebabnya adalah karena kerakusan manusia sehingga mengeksploitasi bumi dengan cara-cara yang tidak ‘manusiawi’. Manusia tidak menyadari bahwa alam semesta adalah makluk sebagaimana mereka juga. Kita tahu, dalam kosmologi Islam, manusia adalah insan shagir (manusia kecil, microkosmos,) dan alam semesta adalah insan kabir (manusia besar, macrokosmos).

“Itu terdengar seolah manusia dan alam itu bersaudara, adik-kakak.” Him mencoba menerka.

“Perenungan mendalam akan menghantarkan kepada kesadaran demikian, Him” kata Mamik Seni. “Mereka bukan adik-kakak, tapi malah saudara kembar. Alam semesta adalah makluk sebagaimana manusia. Semuanya adalah ciptaan Allah—berasal dariNya, dan akan kembali kepadaNya. Kita semua adalah milik Tuhan, dan kita semua akan kembali kepada-Nya. Inna lillah wa inna ilaihi rajiun. Jika demikian, maka sesungguhnya semua makhluk adalah bersaudara dalam penciptaan. Mereka datang dari “rahim” yang sama. Mereka adalah saudara kembar.

“Maka memahami cara kerja manusia berarti memahami cara kerja alam semesta. Begitulah kaum sufi meyakini, bahwa ketika seseorang bisa memahami cara kerja dirinya berarti dia memahami cara kerja alam semensta. Pernyataan ini senada dengan pendapat ahli otak, seperti yang disampaikan oleh Tony Buzan, pakar dan pencipta Mindmaping, bahwa otak manusia itu sangat menakjubkan, kemampuannya hamper tak terbatas. ‘Jika Anda ingin memahami cara kerja alam semesta, pahamilah cara kerja otak,’ katanya. Otak manusia dan alam semesta yang sangat luas ini memiliki cara kerja yang sama. Ini sekali lagit menguatkan bahwa manusia dan alam semesta bersaudara kembar.”

Mamik Seni merasa mendapatkan momentum yang tepat untuk menyampaikan kegalauannya selama ini. Maka bagai air dari ketinggian, ia terus saja berbicara.

“Pada tataran yang lebih sakral, manusia dan alam adalah manifestai-manifestasi ilahiyah. Manusia dan alam semesta adalah ayat-ayat Allah, tanda-tanda eksistensi Tuhan. ‘Dan Kami tunjukkan tanda-tanda kebesaran Kami di alam semesta dan pada diri manusia sendiri, hingga terang benderang bagi mereka bahwa Dia adalah benar andanya? (Fusshilat [41]:53.’

“Bintang-bintang dan berbagai jenis makluk angkasa selalu bertasbih, sebagai inspirasi agar manusia juga bertasbih kepadanya. Tanah dan air adalah suci dan mensucikan. Udara, api, cahaya adalah energi kehidupan. Tumbuh-tumbuhan adalah pena-pena ilahiyah, adalah jantung yang melaluinya Tuhan menjamin kehidupan kita.

“Jika kepada manusia kita harus saling menghargai dan saling berterimakasih, maka kepada tanah, udara, api, air, gunung-gunung, pohon-pohon, hewan-hewan kita juga harus menujukkara rasa hormat yang sama dan terimakasih yang sama bahkan lebih.

“Mereka yang hidup tanpa menunjukkan rasa hormat dan terima kasih kepada sesama makhluk bisa jadi ia telah menghianati kesejatian dirinya sebagai makhluk. Ia mungkin tak pantas hidup di alam semesta ini. Dan nampaknya itulah yang sedang terjadi. Alam semesta akhrinya dengan terpaksa mengusirnya dari kehidupan, atau setidaknya membuatnya merasa tidak nyaman, bahkan sangat menderita.

“Masih adakah alasan bagi kita untuk tidak membangun sikap saling menghargai sesama anggota semesta ini? Wallahul musta’an, wassalamu’alaikum warah matullah wabarakatuh.” Mamik Seni menutup tadarusan dengan pertanyaan yang menggoda pikiran Amang, Nakir, Him dan Ece.
Udara segar dari kokok[1] Baru yang jernih pelan-pelan menyelinap masuk dari jendela masjid al-Amin menambah perasaan bersaudara mereka dengan alam. Merekapun diam, ntah karena selama ini merasa telah bersikap salah terhadap alam, atau baru menyadari betapa bodohnya mereka selama ini.

Terima kasih, atas pengertian dan empati kalian. Katakan pada yang lain bahwa aku selalu bisa memberi kesegaran kepada kalian selama kalian juga tidak menggangguku. Bilang ke mereka untuk mengurangi pemakaian karbon monoksida-dioksida cs. Bilang juga ke kusir-kusir cidomo agar tidak membiarkan tai-n-jaran[2] jatuh berserakan di jalan-jalan. Itu tidak kalah merusaknya: aku menjadi bau dan membawa penyakit.

Mamik Seni dan Amang cs berbalik ke belakang, melihat ke langit-langit, mencari sumber suara itu, tapi tak mereka temukan. Mereka penasaran, bertanya-tanya. Tapi tak lama, mereka berpisah dengan perasaan tidak menentu.

Istiqlal-Al-Azhar, Jakarta, 22-23 Ramadhan 1424/11-12 Agustus 2012

[1] Kokok = sungai.
[2] Tai jaran (baca: tai-n-jaran)= kotoran kuda

1 komentar:

  1. The best online casino site | Lucky Club
    The best online casino site. The casino site. is a unique site of luckyclub the iGaming scene and has been the favorite for years now. The site is safe and

    BalasHapus